Bagian Empat

783 115 5
                                    

Jadi mereka pergi setelah pulang, dan tampaknya keempat gadis itu tidak masalah dengan kehadiran Arzan disana, mereka mengangguk saja ketika Adara bilang bahwa Arzan yang akan mengantarnya, berhubung Adara juga tudak punya kendaraan.

Rumah sakit Muara Kasih katanya tempat Ka Aros dirawat, dan Delila tampak sibuk dengan handphonenya katanya, dia sedang ngechat bersama Ka Aros untuk minta Izin dan dia diizinkan.

Ketika masuk ruangan itu, mereka berenam disambut dengan senyum ramah Ka Aros, kakinya di perban tidak ditutupi selimut.

"Kaka tidak apa-apa?" Delila bertanya mendekat menatap kaki Ka Aros yang di perban. Cowok itu kelihatan baik-baik saja hanya sedikit pucat dan berantakan.

"Tidak apa-apa, gua cuma sedikit syok sama kaget. Mungkin trauma kecil juga." untuk hal ini. Adara salut dengan mental kakak kelasnya yang tampak tidak langsung hancur begitu saja.

Mereka ngobrol panjang lebar yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh percakapan Delila dan Ka Aros.

Arzan fokus dengan handponennya, menatap sekeliling kamar dengan teliti. Berdiri disamping meja disebelah tempat tidur pasien. Cowok itu meletakan handphonenya diatas meja.

"Aku ingin ke kamar kecil sebentar," ujar cowok itu yang dianggukil oleh para remaja yang sibuk dengan bahan obrolan tidak jelas.

Tidak begitu lama pintu di ketuk, masuk orang tua Ka Aros bersama dua orang polisi. Mereka meminta para menjenguk untuk keluar sebentar dan mereka memegang tidak punya hak menolak. Jadi mereka menunggu Arzan ke keluar dari kamar kecil kemudian keluar bersama.

"Jadi kita pulang saja, kah?" Farah bertanya, tampaknya keadaan didalam kamar Ka Aros akan sedikit tidak tenang setelah ini.

"Yah, mau gimana, Ka Aros kayaknya sibuk." sahut Delilah.

"Ponselku, aku meninggalkanya diatas meja." Arzan menatap kelima gadis termasuk Adara.

"Yah, mereka pasti lama," ujar salah satu teman Farah. Mungkin Ka Aros sedang ditanyai saat ini jadi mungkin memang akan memakan waktu yang cukup lama.

Jadi Farah dan teman-temanya pulang terlebih dahulu meninggalkan Adara dan Arzan. Adara tidak keberatan sebenarnya dia juga cukup kesal terlalu lama memasang wajah sok manis dan ramah.

Kurang lebih setengah jam kemudian polisi-polisi itu keluar, Adara langsung melesak masuk dengan salam. Mengambil ponsel Arzan diatas meja kemudian pamit. Arzan menunggu diluar.

Keluar dari rumah sakit kedua remaja itu saling tatap ditempat parkir.

"Sayang kita tidak punya markas keren seperti difilm-film." Adara menatap cowok itu dengan mata humor. Menatap motor besar Arzan dengan sedikit menaikan alis. Adara sangat tahu motor putih tulang yang dibawa Arzan ini adalah motor mahal. Jadi dia sedikit hati-hati ketika menaikinya. Adara tidak mau bernasib seperti ftv-ftv siang, hanya karena goresan kecil pada motor mahal dia dijadikan babu.

"Kita kerumahku saja, ada gazebo disana." Adara mengangguk, lagi pula tidak mungkin Adara membawa Arzan kerumahnya, bisa-bisa dia digantung terbalik sang ayah di plafon rumah.

Rumah Arzan besar, yah persis rumah orang kaya di film film. Halamannya luas dan tertata rapi. Banyak bunga disana. Memasuki rumah itu Adara percaya Arzan bukan dari keluarga biasa.

"Tunggu disini sebentar, aku ingin mengganti pakaian," izin Arzan, cewok itu melenggang keatas dengan santai. Menghela nafas Adara memerhatikan sekeliling ruang tamu. Ada beberapa foto di dinding. Dan satu foto keluarga besar.

Sepasang suami istri dan seorang putra mereka, kalau dilihat dari pola wajah Adara yakin itu Arzan. Tapi rambut anak laki-laki difoto itu hitam. Sedangkan Arzan, Adara yakin rambut Arzan putih alami. Entah kenapa.

Laten We SpelenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang