Irene yang duduk di tepian kolam renang sibuk melamun ketika sebungkus permen caramel pemberian Sehun semalam sedang dia kunyah lembut di dalam mulutnya. Irene sudah menegaskan bahwa sebenarnya dia tidak begitu suka makanan manis tapi mungkin Sehun benar, permen caramel ini cukup berguna ketika pikirannya sedang kacau.
Irene banyak berpikir bahwa kesendiriannya selama ini menjadikan dirinya memiliki sifat egois dan pemilih. Pernah sekali itu Irene disakiti oleh seorang pria, merana, lalu terjebak pada rasa trauma yang berkepanjangan. Lagipula, memiliki hubungan serius dengan seseorang dianggapnya sebagai hal yang merepotkan. Berkencan, saling memahami, dan mencoba untuk mengerti. Belum lagi saat keduanya harus dihadapkan pada hal-hal sepele yang bisa saja menjadi masalah besar. Membayangkanya saja Irene malas, apalagi menjalaninya. Irene bukan tipikal wanita yang ribet dan dia ingin segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sayangnya Irene cukup tahu kehidupan macam apa di dunia ini yang tidak ada masalah, bukan?
"Kau marah ya padaku?"
Irene pura-pura tidak mendengar suara pria yang ada di sampingnya, yang dengan lancang menyusulnya datang kemari setelah keduanya pulang dari kantor.
Irene berpikir apa jika dia menjawab 'iya' semuanya akan berubah? Tentu saja dia marah setiap kali Kai datang dan berulah. Belum lagi Kai memprotes kenapa dirinya terbangun tadi pagi di kamar Sehun dan bukan di dalam kamar Irene atau kamarnya sendiri. Memangnya siapa yang sudi mengantarnya pulang? Sudah baik Irene menerima bantuan dari Sehun dan seharusnya Kai bersyukur akan hal itu.
"Kau rupanya cukup akrab dengan Sehun," sengaja Kai menggerakkan kakinya ke arah kaki Irene di dalam air, berusaha membuat Irene menoleh ke arahnya.
"Tidak begitu."
"Tapi sepertinya tetanggamu itu orang yang baik. Aku pernah mengobrol dengannya saat kami tidak sengaja bertemu di dalam lift."
Respon Irene hanya berdecih lirih. Sekarang dia tidak peduli bagaimana Kai bisa mengenal Sehun meski semalam dia sempat ingin tahu tentang hal itu. Tapi biasanya kan para pria memang lebih mudah akrab dibanding wanita di pertemuan pertama mereka.
"Aku minta maaf," kata Kai lirih. "Kau tahu kan kadang hidup ini terasa tidak adil, merasa kesepian, dan sesekali kau butuh hiburan."
"Kau pikir aku ini hiburanmu?" Irene memberi tatapan sinis, menaikkan satu sudut bibirnya ke atas. "Jika itu mengenai urusanmu dengan selusin wanita yang kau kencani, kenapa tidak selesaikan langsung saja dengan mereka dan kenapa kau malah mendatangiku? Mabuk dan berulah di tempat orang lain kau pikir itu tindakan sopan?" Irene perlu menghirup nafas panjang sebelum kalimat selanjutnya terucap, "Aku kasihan dengan ibumu, kenapa dia bisa sampai melahirkan anak laki-laki bajingan yang bahkan bersikap sopan santun saja kau tidak bisa."
Mata Kai berkedip-kedip memandangi riakan air yang dia ciptakan sendiri. Merasa lucu kenapa tiba-tiba Irene membahas mengenai ini-itu padahal dia hanya ingin minta maaf saja, tidak lebih.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu," Irene sedikit mimiringkan duduknya untuk lebih jelas menghadap pada Kai, "Diantara Sarang, Yuna, Hyori atau siapa sajalah mereka, apa kau pernah berpikir untuk menjalin hubungan yang serius?'
"Ehmm...tidak sih."
Irene sudah menduganya, untuk itu dia tidak kaget saat mendengar jawaban yang terlontar dari Kai.
"Lalu, siapa diantara mereka yang sudah pernah kau tiduri?"
"Penting ya kalau aku harus menyebutnya satu-persatu? Kau cemburu?"
"Apa kau benar-benar harus sebrengsek itu, hah?!" Kai mengaduh kecil ketika Irene memukul keras sisi lengannya. Ekspresi geram Irene memaksa Kai sedikit mundur untuk menghindar dari amukan berikutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Between
FanfictionMemiliki anak tanpa menikah, itulah yang diinginkan Irene-wanita berusia 32 tahun yang lebih menyukai kebebasan. Dia pikir, menikah adalah hal yang paling merepotkan dan yang dia tahu, pernikahan merupakan suatu ajang penderitaan. Jadi siapakah ke-3...