Mas Dion

14.6K 539 4
                                    

"Dira, Kakek akan pergi beberapa hari. Kamu jaga diri baik-baik. Segala semuanya yang ---"

Hiks...

"Dira..."

Aku tatap wajah menyebalkan kakek tua itu. Padahal besok lusa aku itu udah keluar dari rumah ini. Tapi dia seolah gak peduli padaku! Selalu sibuk dengan urusan ini dan itu.

"Kan nanti kita bisa video call.."

"Kakek gak mau liat apartemen Dira dulu? Kakek gak mau nganterin Dira di hari pertama kuliah? Kok Kakek ingkar janji terus?!" Emosiku meledak. Kalau saja dia bukan kakekku, udah aku siram pake air susu wajah tuanya yang menyebalkan itu!

"Lepasin dulu pisaunya ya.." Kakek berusaha membujukku agar mau melepaskan pisau yang sedang kucengkeram erat.

"Aku mau main sama Jordie hari ini!"

"Iya, Kakek gak pernah melarang. Tapi diluar kan sedang musim hujan. Nanti kalau kamu sakit gimana?"

Pria tua ini benar-benar ya...!!

"Nyebelin!!"

"Dira..."

Tak kupedulikan lagi dia itu. Dasar tua bangka pembohong! Penipu! Keras kepala!

"Mas Dionnn..!!"

Aku berteriak sekencang mungkin. Dia tidak ada diantara orang-orang yang sedang berkerumun di halaman belakang.

"Dimana lagi dia?!!"

"Dion lagi dikerokkin di kamarnya, Den Dira. Katanya masuk angin."

Aku melangkah menerjang hujan. Salah satu dari mereka melindungiku dengan payung hitam besar.

"Aku gak mau liat payung item ini lagi! Emangnya lagi acara pemakaman!"

"Siap, Den! Besok akan saya ganti warna ---"

"Pink!"

Dokk-Dokk--Dokk...

"Mas Dionn..!!"

"Saya, Den!!"

Mataku melotot. Melihat Mas Dion cuma pake celana pendek, dan ada seorang wanita di dalam kamarnya itu.

"Kok ada dia?!"

"Saya cuma lagi ngerokkin Dion, Den Dira.."

"Keluar, Sera!!"

"Maafin saya, Den.."

"Sera, keluar!!" Aku makin emosi. Wanita itu emang beneran wanita genit. Gak bisa sehari aja gak ngerayu Mas Dion.

Aku berbalik dan menendang kaki Mas Taufan. Dia ini salah satu orangnya kakek, yang secara terang-terangan pernah menyatakan rasa sukanya padaku.

"Aduh, kenapa saya ditendang, Den..?"

"Kenapa bukan kamu yang ngerokkin Mas Dion?"

"Salah lagi dah.." Mas Taufan menepuk dahi.

"Semua orang di rumah ini nyebelin! Kecuali aku loh..!"

"Den Dira mau kemana? Saya sudah siap..."

Aku lihat memang wajahnya Mas Dion pucat dan sepertinya dia agak menggigil kedinginan.

"Mas Taufan, ambilin bantal, guling, selimut, sandal beruang, hape, laptop, papan catur, monopoli, sama dompetku di kamar..!"

"Sendal beruang teh yang kayak gimana ya...?" Tanya Mas Taufan.

Jelas dia gak paham. Orang yang selama ini mengatur semua barang-barang dan kebutuhanku itu Mas Dion.

"Biar saya aja yang ngambil, Den.." Ujar Mas Dion

"Gak boleh!"

"Tapi, memangnya saya boleh masuk ke kamarnya Den Dira?" Mas Taufan yang bertanya.

"Gak boleh!"

"Terus, bagaimana saya mengambilnya atuh, Den Dira..."

Aku menggaruk kepalaku. Kenapa aku jadi kayak orang bego gini ya?!

"Tunggu disini. Aku ambil sendiri aja deh.."

Untungnya kakek tua itu udah pergi. Jadi saat aku kembali ke dalam rumah utama, aku gak perlu mendengarkan celotehan yang ngejelimet itu.

"Bawa semua ini..."

"Siap, Den Dira.." Mas Taufan tersenyum nakal padaku. "Boleh minta cium sekali di pipi gak?"

"Boleh. Tapi beliin dulu aku chatime hazelnut choco!"

"Beneran ya!?"

Aku hiraukan dia. Kulanjutkan ke dapur utama. Tujuanku kali ini menemui kepala dapur.

"Buatin sup ayam hangat, teh manis, sama -- ada obat masuk angin kan?"

"Ada, Den Dira. Aden sakit ya?"

"Bukan buat aku, Pak KD. Tapi buat Mas Dion."

"Baik, Den Dira."

"Jangan lupa, bawain juga puding mangga sama vla-nya."

"Baik."

Mataku melirik sinis pada Sera. Dia lagi santai saja menyeruput kopi espreso sambil memainkan hapenya. Kurasa penglihatannya buruk kalau dia lagi gak pakai kacamata. Apalagi saat dia lagi main hape kayak gitu. Ada kebakaran pun, mungkin dia tetep diem ditempat, dan ikut kebakar didalamnya.

Aku udah kembali ke kamarnya Mas Dion. Rencananya malam ini, aku akan menginap di kamar yang sempit, nyaman, dan hangat ini.

"Den Dira mau tidur disini? Kan kasurnya cuma muat satu orang?"

Kuhampar karpet tebal yang selalu tergulung disudut kamarnya. Lalu kususun bantal, guling, laptop, hape, dan barang-barangku lainnya.

Tidak seperti orang-orangnya kakek yang lain, yang tidur bersama-sama. Untuk Mas Dion, kakek menyediakan kamar khusus yang cuma dihuni oleh dia seorang.

Soalnya dia itu sudah bersamaku sejak umurku 8 tahun. Dan meski sempat berpisah selama beberapa tahun, karena ia harus ikut pelatihan khusus yang entah apalah itu namanya, dia kembali lagi saat umurku sudah 11 tahun.

Dia itu cowok asli. Badannya macho dan gagah. Meski ototnya gak begitu nyembul kayak Mas Taufan dan yang lainnya. Tapi dimataku, Mas Dion adalah yang paling sempurna. Selain dia itu orang yang paling bisa memahamiku, cepat tanggap, selalu sabar tiap kali menghadapi sikap konyol dan egoisku, dan dia --- hmmm --- aku sangat menyukainya! Sangat-sangat menyukainya!

"Besok kita liat apartemennya ya, Den?"

"Iya." Jawabku malas. Oh ya, aku udah berlindung di bawah selimutku loh.

"Emangnya Den Dira yakin, gak takut tidur sendirian?"

Aku menggeser badanku saat Mas Dion ikut tidur di sampingku. Dia bahkan ikut masuk ke dalam selimutku.

Refleks kupeluk tubuhnya itu. Kuhirup aroma minyak gosok yang menguar darinya.

"Nanti gak bisa kayak gini lagi.."

Enggak! Pokoknya aku sudah mantap dengan keputusanku. Aku harus bisa belajar hidup mandiri. Aku harus bisa!

Toh waktu SMA kemaren kan aku juga sempat setahun tinggal diasrama bareng Jordie. Dan semuanya baik-baik aja.

"Maafin Dira ya, Mas.."

Mas Dion makin memeluk tubuhku. "Kenapa minta maaf, Den?"

"Gara-gara aku jatoh dari pohon, jadinya Mas Dion dihukum sama kakek tua itu."

"Kalau cuma hukuman ringan gitu, Mas sih udah terbiasa, Den. Tapi --" Mas Dion menatapku lamat-lamat. "Jangan bicara tidak sopan lagi sama kakeknya Aden. Baik buruk, beliau itu kan satu-satunya keluarga yang masih Den Dira miliki."

"Masih aja ngebela dia.."

"Bukannya saya membela Tuan Kakek. Tapi kan..."

"Mas Dion pilih aku atau kakek?"

Mas Dion membelai kepalaku. Dia mendaratkan sebuah ciuman di dahiku. Padahal aku mengharapkan dia sekali saja mencium bibirku ini.

"Saya tetap pilih, Den Dira. Sebab saya sangat sayang sama Aden.."

#####




A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang