EPILOG

12 1 0
                                    

Epilog

Jendela yang menghadap matahari langsung ini membuat mataku silau. Aku memutuskan untuk menutup kelambu mobil agar sinar itu tidak membuatku merasa terganggu. Sebenaranya aku ingin melihatnya, melihat semua kebebasan di balik jendela ini. Tapi aku tidak seberuntung itu yang bisa bebas melakukannya seperti kebanyakan orang di luar sana. Aku terpaksa harus menuruti semua yang mereka katakan. Jujur, sebenarnya aku sama sekali tidak ingin melakukannya. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin bebas. Tapi ikatan itu sudah benar-benar membunuhku secara perlahan.

Mobil yang mengantarku ke neraka ini tiba-tiba berhenti. Aku membuka kelambu. Ah, benar-benar sudah sampai di neraka. Dengan sedikit ragu aku mulai keluar dari mobil van ini. Aku melangkahkan kakiku tanpa tau apa yang seharusnya aku lakukan dan kemana lagi aku akan pergi. Perlahan aku memasuki gedung yang cukup besar yang akan membawaku pada kematian. Sungguh aku benar-benar bisa mati disini.
Mobil itu berjalan dan mulai memarkirkan diri. Sepertinya sopir bodoh itu dipaksa untuk tetap mengawasiku. Ini benar-benar sudah kelewat batas.

Aku mengambil nomor antrean dan... apa ini? Sembilan puluh delapan? Astaga, aku benar-benar akan mati kurang sabar.

Sekarang tiba giliran kelompok nomor urutku yang mendaftar di antrean. Ini seperti mendaftarkan diri siapa yang akan disiksa terlebih dulu. Tiba-tiba aku mendengar suara riuh tepat di belakangku. Aku melihat mereka sekilas. Ternyata ada perdebatan kecil antara siswa dan siswi yang berebut nomor antrean. Norak. Lebih baik aku membiarkan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Tapi sesaat kemudian, aku mendengar teriakan sakit dari arah belakang. Ketika aku menoleh, siswi yang berdebat tadi sudah terjatuh di lantai dan tampak sangat kesakitan. Jelas siswa itu yang mendorongnya. Dengan cepat aku menarik tubuh siswa itu lalu memukulnya dengan keras. Dia terjatuh, sudah dapat dipastikan dia akan membalasku. Untuk itu aku menguncinya agar dia tidak bisa membalas pukulanku. Pukulan demi pukulan aku berikan padanya. Aku merasa marah karena.... aku tidak tau. Firasatku mengatakan bahwa aku harus memukulnya. Tiba-tiba ada yang menarikku. Aku menghentikan pukulanku dan melihatnya. Gadis itu. Dia menyeretku menjauh dari tempat itu. Aku melihat di sekekeling kami dan mulai menyadari bahwa semua orang tengah memeperhatikan kami. Mungkin mereka juga memeperhatikan kejadian tadi. Aku kembali melihat gadis yang tengah menyeretku ini. Kenapa dia harus menyeretku seperti ini? Dan kenapa aku diam saja diperlakukan seperti ini oleh gadis lemah yang aku pun tidak tau asal usulnya?

Dia membawaku ke sebuah ruangan yang cukup sepi. Aku melihatnya yang sangat marah. Aku tidak pernah melihat ada seorang gadis yang semarah ini dihadapanku. Lalu dia mengatakan sesuatu dengan keras. Cepat. Tampak sekali bahwa dia benar-benar tengah marah padaku. Apa ini? Dia tidak tau terima kasih. Tapi, melihatnya yang tengah marah seperti ini.... kenapa aku merasa dia tampak begitu cantik? Aku baru menyadarinya. Tiba-tiba dia berhenti memarahiku. Dia mendekat. Dia mengatakan bahwa aku mimisan. Dia nampak sangat khawatir padaku. Oh, apa tadi? Mimisan? Astaga.

Sebelum aku sempat mengusapnya dengan tisu yang sudah aku sediakan sebelumnya, gadis itu mengeluarkan tisu disakunya lebih dulu dan mulai mengusap mimisanku. Aku menatapnya. Dan terus menerus menatapnya. Baru kali ini ada yang mau mengusap mimisanku. Bahkan dia sama sekali tidak tau asal usulku sebelumnya. Matanya begitu tulus. Dia semakin mendekatkan wajahnya. Jantungku berdegup cepat. Kenapa jantungku berdegup cepat? Melihatnya yang berulang kali mengambil tisu lalu berjinjit lagi untuk berusaha menyeimbangi tinggiku, aku merasa kasihan padanya. Sebenarnya aku ingin mengusapnya sendiri, tapi.... sesuatu menghalangiku melakukannya. Aku merasa ingin terus seperti ini, ingin dia yang mengusapku dengan sedekat ini. Tiba-tiba dia akan terjatuh, dengan sigap aku memeluk pinggangnya. Kenapa dia tidak merespon? Seharusnya dia langsung menghentikan ini. Tapi... kenapa jantungku berdetak lebih cepat? Matanya... aku benar-benar tidak bisa mengedipkan mataku. Aku tidak bisa mengalihkan keindahan ini.

Aku tidak menyadari bahwa mimisan ini sudah berhenti dan dia merasa kikuk dengan aku yang masih menatapnya. Dengan gugup aku menegakkan kembali tubuhku. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku memutuskan untuk pergi. Sebenarnya... aku ingin berkenalan dengannya. Tiba-tiba dia mengatakan sesuatu di belakangku setelah aku berbalik meninggalkannya. Aku hanya berhenti untuk mendengarkan, lalu pergi begitu saja. Sebenarnya aku ingin tau namanya, aku ingin berbicara padanya. Kenapa aku sangat tertarik dengan gadis seperti ini? Tumben. Semoga aku bisa sekelas dengannya.

Hari ini aku mengikuti turnamen taekwondo di tingkat kabupaten. Sebenarnya aku merasa pusing pagi ini. Tapi terpaksa aku harus mengikutinya karena ini paksaan lagi dari orang tuaku. Aku sudah di terima di sekolah itu, tapi sayangnya aku tidak bisa sekelas dengannya. Aku meralat kata-kataku sebelumnya tentang sekolah yang kuanggap neraka itu. Sekarang aku menganggapnya sebagai surga yang menyimpan seorang bidadari cantik pengusap mimisan, eh, baik hati. Ini membuatku mulai menyukai sekolah itu, atau...... sebenarnya menyukai salah satu gadis di sekolah itu.

Aku memenangkannya. Ini memang sudah bisa dipastikan. Pertandingan tadi membuat kepalaku benar-benar pusing. Mungkin ini akan semakin parah. Aku menuju toilet sebentar untuk menenangkan diriku dan meminum obatku. Setelah sampai aku langsung dihadapkan oleh seseorang yang tadi melawanku di pertandingan akhir. Dia menatapku sinis. Aku kira dia tengah marah karena tadi aku sempat membuat kakinya cedera. Dia berjalan melewatiku. Sebenarnya aku ingin menyapanya, tapi kelihatannya dia tidak bersahabat, jadi aku memutuskan untuk melewatinya saja.

"Apa lo ngrasa puas sama pertandingan tadi?" tanyanya tiba-tiba. Aku menoleh.

"Maksud lo?" tanyaku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.

Sekarang kami tengah berhadapan satu sama lain.

"Lo bener-bener udah lupa ya sama gua?" tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak. Aku ingat sesuatu tentangnya. Pantas dia tidak asing. Dia yang mendorong gadis itu sampai terjatuh dan aku memukulnya tanpa ampun.

"Apa sekarang lo udah ingat siapa gua?"

"Tentu. Orang yang tadi udah kalah tanding sama gua kan?"

Aku langsung pergi meninggalkan laki-laki itu. kurasa aku tidak perlu meralat kata-kataku. Aku selalu benar.

"Gua punya banyak alasan buat ngancurin lo!" katanya di belakang. Omong kosong.

Aku menatap masjid itu lekat-lekat. Timbul dibenakku untuk sholat di sana suatu saat nanti. Tapi kapan? Saat aku tengah melihat masjid sekolah, seseorang terlihat tengah memasang sepatu. Sepertinya baru saja sholat. Tapi sholat apa? Sholat subuh? Mana mungkin. Ah, sama sekali tidak penting. Ketika aku akan mengalihkan pandanganku, tiba-tiba dia mendongak.

Sesosok bidadari terlihat. Gadis itu. Aku langsung merubah posisi dudukku. Amtaku tak berhenti menatapnya. Sesaat kami saling berpandangan, namun dengan cepat gadis itu mengalihkannya. Ingin rasanya aku mendekatinya lalu menyapanya lalu berkenalan dengannya lalu menjadi temannya lalu... lalu... bodoh.

Setiap hari aku melihatnya di masjid itu. untung saja beberapa hari ini aku mendapatkan teman yang sama denganku. Pembuat onar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You Are My ClassmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang