BAB 10 Dia... mengatakannya. Dia... pergi?

10 0 0
                                    

Sewaktu pulang sekolah. Seseorang memanggilku dari belakang, seperti biasa. Tapi kali ini suaranya berbeda. Dia juga tengah berlari sekarang. Aku menoleh. Laki-laki itu, dan...lari? Aku menghentikan sepedaku.

"Kok kamu nggaaak..."

"Udah, sekarang lo harus ikut gua ..." katanya sambil ngos-ngosan. Lalu dia meraih sepedaku dan menaikinya. Aku masih bengong.

"Ayok!" katanya sambil meraih tanganku supaya naik di boncengan. Aku langsung menaiki sepedaku. Dia meletakkan tanganku di pinggangnya. Tapi aku memilih memagang baju di punggungnya.

"Kita mau kemana?" kataku polos.

"Kemana aja asal bisa bebas" katanya masih ngos-ngosan. Dia mempercepat laju sepeda kami.

"Terus orang tuamu? Mereka emang nggak marah?"

"Udahlah, masalah itu nanti aja, yang penting sekarang gua pengen bebas"

Aku diam setelah itu. Aku menikmati perjalanan singkat ini, perjalanan langka yang aku pun tidak pernah bisa membayangkan akan seindah ini. Bersama orang yang ada di depanku sekarang, membuatku, membuatku tidak ingin perjalanan ini berakhir begitu saja. Dia berbelok ke arah persawahan. Pemandangan di sini sangat indah karena kami bisa melihat gunung-gunung dengan leluasa. Tidak ada yang bisa menghalanginya seperti gedung-gedung, perumahan atau apapun. Udara juga sangat sejuk. Aku melepaskan tanganku dari baju di punggungnya dan merentangkan tanganku lebar-lebar. Aku mulai merasakan hembusan angin pelan merambat di kulitku. Aku menutup mataku, merasakan semuanya, suara kicauan burung, hembusan angin, decitan sepeda, semua tampak senada. Aku membuka mataku kembali. Aku melihat laki-laki itu juga melakukan hal yang sama, merentangkan salah satu tangannya dengan tangan yang lain menyetir.

"Haaaaaaaaahhh. Terbang... bebas... lepas.... Haaaaaaahhh" teriaknya.

Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya yang berteriak-teriak seakan dunia ini miliknya. Seakan dia sudah terbebas dari kehidupan mengerikannya. Tiba-tiba ada gronjalan, aku akan terjatuh jika saja tidak mendekap laki-laki itu. Sebentar, mendekap... apa? Aku tersadar dan melepaskan dekapanku dengan cepat. Seketika aku merasa gugup. Untung saja laki-laki itu tidak melihatku sekarang, jika dia melihatku pasti dia akan mengejekku karena pipiku yang memerah.

"Hati-hati dong Fadil. Jatoh baru tau rasa" kataku kesal.

"Iya, maaf" katanya, sepertinya dia tengah tersenyum di depan sana.

"Kamu nggak mikir hal jorok kan?" kataku sambil memelankan nadaku seakan memastikan bahwa dia tidak berpikiran semacam itu.

"Heh? Mana ada? Siapa juga yang mau mikirin hal jorok sama lo!" katanya sedikit gugup.

"Alasan yang payah"

"Hei, lagipula, apa untungnya gua mikir jorok ke lo, lo itu nggak ada apa-apanya"

Aku spontan memukul punggungnya dengan keras.

"Woi, sakit, kenapa sih lo slalu mukul gua?" sambil sekilas mengelus punggungnya.

"Pengendalian sosial karena penyimpangan, yang aku lakukan dengan pengendalian prefentif dan represif. Prefentif pengendalian yang sifatnya lebih ringan, dengan hanya mencegah sebelum terjadi, kalo represif sifatnya berat, arahnya ke hukuman. Aku selalu nglakuin kedua pengendalian itu ke kamu."

"Nggak, lo slalu make yang represif"

"Itu karna kamu nggak pernah dengerin aku setiap kali aku memberitahu kamu tentang penyimpangan yang kamu lakukan."

You Are My ClassmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang