Margareta, tampak menghirup dan meneguk perlahan teh hijau di tangannya. Tampaknya ia berusaha menenangkan diri dari sandungan yang baru Ia alami.
Berbeda dengan keempat pria dewasa yang duduk di hadapannya. Mereka tampak cemas. Saling melirik. Kebingungan harus berkata apa pada bos mereka itu.
"maafkan kelalaian kami hari ini. Kami sungguh tidak menyangka Ia sampai kembali ke Indonesia padahal setahun ini Ia tak menunjukkan ketertarikan pada perusahaan."
"yang di katakan pak broto benar. Kami sudah memantau Ia selama setahun ini. Dan entah bagaimana Ia bisa lolos dari mata-mata kami di sana"
"anda tidak perlu khawatir. Orang dalam kita ada di setiap divisi. Sangat mudah bagi kita untuk mensabotase segala rencananya. Proyek ini dan posisi itu akan segera menjadi milik Anda. Kami akan bekerja lebih keras!"
Margareta menegakkan punggungnya. Tampak olehnya wajah tegang dari keempat pria itu, "benarkah itu?" sahutnya lembut, "bagaimana aku bisa percaya lagi pada kalian ketika jelas-jelas kalian mempermainkan ku hari ini"
"tidak, bu. Kami sama sekali tidak bermaksud demikian. Percayalah, ini tidak akan terulang kembali"
"lalu apa rencana kalian?"
"untuk sementara kita akan mulai dengan rapat bersama dewan direksi agar mereka semua mendukung proyek yang anda ajukan. Dengan demikian semua akan kembali mengikuti seperti yang kita rencanakan" jelas seorang pria yang tampak serius. Ia salah satu orang kepercayaan Margareta, kaki tangan yang bersedia mengerjakan hal busuk sekalipun.
Margareta mengangguk paham. Apa yang diucapkan orang itu, sangat sesuai dengan keinginannya.
"aku percaya pada kemampuanmu" puji Margareta pada pria itu.
Pria itu tampak tersenyum menyambut pujian dari bos-nya itu.
"maafkan saya harus menyela.." ucap ragu-ragu seorang pria yang sejak tadi hanya diam tertunduk menatap tab miliknya.
Ucapannya berhasil menarik perhatian mereka yang berada di salah satu ruang vvip restoran jepang itu.
"anda mungkin berkenan membaca ini." lanjutnya sambil menyodorkan tab yang menyala. Menunjukkan sebuah email yang entah dari siapa pengirimnya.
Margareta menyambut tab itu, dengan seksama membaca isinya.
"beliau memerintahkan saya untuk mengganti semua staf perencaan, konstruksi, dan team sekretaris. Bahkan Ia sudah menyiapkan nama-nama penggantinya" jelas pria itu.
Margareta tampak menggeram dengan apa yang dilihatnya. Ia melempar tab itu dengan keras. Keempat pria itu tampak panik dengan sikap kasar wanita itu.
"sebaiknya kau cepat bergerak sebelum aku membunuh kalian semua! " perintahnya.
Dengan amarahnya yang menggebu, Ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan keempat pria itu.
***
Malam belum larut ketika Miran sampai dirumah.
Ia baru saja menyudahi kehidupan normalnya sebagai owner salah satu dapur photografi populer. Berawal dari hobi mengabadikan moment dalam bentuk foto, sampai Ia dikontrak beberapa perusahan iklan dan majalah kemudian akhirnya mendirikan perusahaan itu. Barangkali memang sudah menjadi bakat turunan dari ayahnya yang begitu giat menekuni dunia bisnis.
Miran memijit-mijit lehernya sambil berjalan menjauh dari pintu utama rumah besar itu.
"kenapa hari ini aku lelah sekali?" keluh Miran, sesaat kemudian Ia menghela keras nafasnya.
"Berendam di air hangat mungkin ide yang luar biasa"
Miran mendumel sendiri karena lelah. Bahkan Ia tak mampu mengangkat kakinya, sehingga sepanjang jalan suara seretan langkahnya memenuhi lantai satu rumah itu.
"bunda.. " bisik Miran ketika melihat selintas ibunya menuju kamar utama.
Wajahnya seketika semeringah. Ia mempercepat langkahnya ketika punggung wanita itu menghilang dibalik pintu kamar itu.
Praaank!!!!
Miran tersentak mendengar suara keras itu. Ia tau betul darimana sumber suara itu berasal.
"bunda!" panggil Miran sambil mengetuk pintu itu beberapa kali.
Senyap!
Tak ada sahutan ataupun suara nyaring seperti tadi.
"bunda.. Ada apa? Buka pintunya! Aku mencemaskanmu!" pekik Miran. Kesunyian di balik sana menambah kekhawatirannya.
"pergilah!" sahut seseorang dari dalam sana, suaranya terdengar parau. Entah karena menangis atau mabuk atau keduanya.
Miran mengambil beberapa langkah mundur menjauhi kamar itu. Namun matanya masih kosong menatap di sana. Seolah menerawang apa yang saat ini sedang dilakukan ibunya.
Wanita itu mungkin saja sedang menangis frustasi di dalam sana. Tentu saja, ini pasti ada hubungannya dengan rapat yang dihadirinya tadi pagi. Begitulah pikir Miran.
Sejujurnya ini bukan kali pertama Miran melihat ibunya seperti itu. Setiap ada masalah di perusahaan, wanita itu selalu mengurung diri seolah menghakimi.
"sudah ku katakan" bisik Miran, "seharusnya kau mengakhiri semua itu. Aku juga tidak tau apa itu, ku mohon hentikanlah"
Miran hanya berbisik pilu. Kemudian memutar langkahnya dan meninggalkan rumah itu.
***
"LAGI?!" pekik Nadia, "tidak! Ini sudah cukup. Kau bisa kehilangan kendali jika mabuk"
"tapi aku belum mabuk!"
"tidak ada orang mabuk yang mengaku." Nadia tidak mungkin membiarkan sahabatnya itu mabuk. "lebih baik kau ceritakan padaku tentang apa ini"
"mmm-hmmmm.. Aku harus mulai dari mana? Aku bahkan tidak tau apa pun untuk di ceritakan"
kesadaran Miran mulai berkurang.
"apa ini tentang ibu tirimu? "
Miran terkesiap, spontan mengacungkan telunjuknya ke bibir merah Nadia, "sssssssshhhtttt!"
Dengan geli Nadia menjauhkan bibirnya, "kenapa lagi wanita itu?!"
Mendengar nada kasar dari Nadia, Miran bangkit dan berkacak pinggang. "jangan berbicara kasar tentang bundaku! Dia memang tidak melahirkanku, tapi Ia membesarkanku seperti anak kandungnya!"
"HAHAHAHA" Nadia tertawa kasar, "entah kau naif atau bodoh. Semua orang bisa menilai apa yang paling diinginkan wanita itu darimu! "
"apa?!" tantang Miran, "saham perusahaan itu maksudmu?! Jika itu yang kau maksud, aku sudah memberi kuasa sepenuhnya pada bunda. Dan buktinya Ia masih ada di sisiku"
Nadia hanya menatap remeh pada Miran yang begitu percaya pada ibu tirinya,
"dengarkan aku baik-baik" Nadia menatap serius pada Miran. Sedangkan mata Miran sudah sayup-sayup tak mampu terangkat.
"wanita itu telah merenggut banyak kehidupan. Salah satunya kehidupanmu. Hanya saja kau belum menyadarinya. Tetaplah waspada. Jangan sampai kau termakan bujuk rayunya. Lalu kau bernasib sama dengan ayahmu"
Miran berusaha keras menyerap kata-kata Nadia. Namun kepalanya cukup sakit untuk dapat menerimanya. Ia berkali-kali mengerjap kedua matanya, kemudian segalanya gelap dan sunyi seketika.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble With First Love
RomanceFirst love never forgotten First love never ending It's true Find out in this story