Prolog

105 11 1
                                    

"Fati!!!" teriak Bang Aqil memanggilku. Padahal jarak kita tidak terlalu jauh,  jadi kenapa dia berteriak?  Menghabiskan tenaga saja.

"Apa sih,  Bang!  Adek nggak budek ya,  gak perlu teriak-teriak!!!" ucapku tak kalah keras dari suara Abangku.

"Kalian berdua itu sama saja," ucap Bang Azmi menengahi. 

Ya,  aku mempunyai dua Kakak laki-laki.  Yang pertama namanya Azmi Al-Chusaini,  dan yang kedua namanya Muhammad Aqil Firash. Mereka sama-sama penyayang,  namun sering kali bersifat jahil padaku.

"Bang Azmi,  bela adek dong!  Jangan bela dia!!!" ucapku merengek seperti anak kecil.

"Kalo manggil yang lebih tua harus sopan ya,  Dek!  Gak baik." Aku sangat menyukai sisi lembut dan dewasa Bang Azmi.  Lihat saja,  tangannya masih setia berada dalam puncak kepalaku.

"Sukurin!!!  Hahaha." Tawa Bang Aqil memenuhi ruang kamarku.

"Tua aja bangga," cetusku yang berhasil mendapat pelototan dari kedua Abangku. "Maaf,  Adek khilaf,  Abang-abang."

Dalam hati,  aku masih tertawa lepas.  Aku bahagia mempunyai keluarga yang saling menyayangi seperti ini.

Terdengar bel di luar rumah berbunyi. Siapakah yang datang jam segini?  Tak biasanya.

"Dek,  Abang mau buka pintu dulu. Kalian tunggu sini!" ucap Kak Azmi dengan melangkahkan kaki keluar kamar.

Aku dan Bang Aqil,  hanya saling pandang,  setelah itu kita sama-sama membuang muka.  Kita memang sering melakukan drama semacam ini. Bersifat kekanak-kanakan memang.  Tapi ini benar-benar membahagiakan.

"Bang,  kok Bang Azmi lama ya? Udah 20 menit belum balik," tanyaku pada Bang Aqil yang sedang asik memainkan ponselnya.

"Entahlah," jawab Bang Aqil dengan cuek dan tanpa memandangku.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar kamar.  Aku berpikir,  itu Bang Azmi,  tapi ternyata itu adalah Umi.

"Fati sayang,  ayo keluar.  Ada tamu buat kamu.  Jangan lupa berpakaian rapi!" Aku sedikit was-was. Siapa tamu itu?  Spesialkah?  Sampai-sampai aku harus berpakaian rapi. "Abang,  ayo keluar dulu! Biar Adekmu bisa ganti baju."

Setelah Bang Aqil dan Umi keluar dari kamar. Aku segera mengganti pakaian dengan yang lebih rapi. Gamis warna peach,  dengan jilbab syar'i yang senada dengan warna gamisku telah menempel pada tubuhku,  dan tak lupa kaos kaki yang sudah terpasang rapi di kakiku.

     Aku berjalan dengan pelan menuju ruang tamu. Hatiku masih was-was,  aku takut ada sesuatu nanti. Saat aku sudah berada di dekat tempat duduk mereka,  aku memilih berhenti dan mengamati mereka dahulu.  Ya,  tamu itu ternyata adalah Kiyai-ku semasa di pesantren waktu SMP dulu. Tapi,  ada seorang yang sedikit asing bagiku. Entahlah,  aku tak ingin memikirkan yang aneh-aneh dulu.  Aku kembali melangkahkan kakiku mendekat ke arah mereka.

"Assalamu'alaikum, maaf saya lama," ucapku dengan pelan dan menunduk karena malu.

"Iya,  ndak papa,  Nduk," Balas Pak Kiyai dengan halus seperti biasa.

Aku hanya memberikan seulas senyuman,  dan ikut duduk di samping Umiku.

"Jadi begini,  mumpung sudah berkumpul semua.  Saya selaku Kakek dari Iqbal, akan mewakili orang tuanya untuk meminta Fatimah sebagai istri Iqbal." Istri?  Apa aku tidak salah dengar.  Aku baru saja lulus SMP. Dan kenapa harus aku?  Aku masih ingin menikmati masa remajaku bersama keluargaku. "Bagaimana,  Nduk?"

Iqbal?  Siapa dia?  Sebelumnya,  aku belum pernah melihatnya sama sekali saat di pesantren.

"Abi," cicitku dengan memeluk Abiku. Air mataku menetes. Aku belum siap!

"Abi serahkan pada kamu,  Dek," ucap Abi dengan membelai pucuk kepalaku.

"Boleh saya bertanya,  Pak Yai?"

"Silahkan,  Nduk." Pak Kiyai memang sangat baik orangnya.

"Saya mau tanya?  Apa alasan, Pak Yai melamar saya untuk cucunya?" Aku tak peduli,  pertanyaanku sopan atau tidak. Yang jelas aku benar-benar penasaran.

"Apa kamu lupa,  Nduk?  Dulu Istri saya pernah bilang kan, kalo dia ingin menjadikan kamu menantu?" Ya,  aku baru ingat,  bahwa dulu Bu Nyai pernah mengatakan ini padaku. Tapi kukira itu hanya sebuah candaan. "Dan menurut saya,  kamu sangat cocok untuk menjadi istri cucu saya. Akhlak dan segala yang ada diri kamu,  sangat mengagumkan,  Nduk."

"Saya kira,  itu hanya guyonan,  Pak Yai. Dan saya juga tidak sebaik, seperti yang, Pak Kiyai ucapkan tadi."

"Ya sudah. Sekarang bagaimana jawaban kamu tentang lamaran ini,  Nduk?"

"Jawaban saya,  ada pada Abi saya,  Pak Yai." Hatiku sedang harap-harap cemas.  Semoga saja Abi menolaknya. Namun jika Abi menerimanya,  aku akan mencoba untuk ikhlas.

"Saya belum rela jika Adek saya direnggut masa remajanya!!!" protes Bang Aqil dengan suara lantang. Dan saat itu juga,  air mataku tak bisa kubendung lagi. Dia yang setiap hari menjahiliku hingga aku menangis.  Namun hari ini,  dialah yang membelaku dengan lantang.

"Abang," tuturku dengan suara nyaris tak terdengar.

"Saya sebagai orang tua Fatimah.  Memutuskan..." ucap Abi menggantung. Tiba-tiba saja Abi memelukku. Aku melihat matanya memerah seperti menahan tangis.

Abi, jangan nangis. Adek nggak mau melihat air mata itu. Air mata itu menusuk,  Bi.

"Saya memutuskan untuk menerima lamaran anda." Deg, jantungku serasa mencelos dari tempatnya. 

Beri hamba keikhlasan Ya Rabb

"Adek,  Ikhlas?" tanya Umi padaku.

"Insya Allah,  Adek akan belajar ikhlas,  Mi,"

"Kami akan datang lagi bulan depan,  untuk membahas tanggal pernikahan Iqbal dan Fatimah.  Dan sekarang kalian bisa bertaaruf dulu,  sebelum hari pernikahan." Ta'aruf?  Aku belum siap!  Aku tak mengenal siapa Iqbal. Yang jelas dari wajahnya,  ia seperti seumuran Bang Aqil. Tapi entahlah, aku tak begitu memperhatikan wajahnya. Karena aku hanya meliriknya sekilas.

"Tiada keputusan yang salah. Yang ada hanyalah,  kita harus belajar untuk menerima keputusan dengan ikhlas."

~Fatimah Khairunnisa~

****

Adakah yang terharu?  Aku nulis sambil mewek loh tadi.  Maapkan Author yang baperan ya. Wkwk

Jangan lupa tinggalin jejaknya yah readers sayang.

Salam manis dari ukhna yang manis AnnastiaMadihanto 😘😘😘

FatimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang