part 4

3.4K 222 15
                                    

Di usia 38 tahun, Agita masih terlihat sangat muda dan menarik perhatian. Bahkan beberapa orang mengiranya masih berusia di bawah tiga puluh tahun. Biasanya mereka akan kaget saat tahu Naya dan Nasya adalah anaknya.

"Aku memang nikah muda, saat usia mau delapan belas tahun. Kurang lebih segitulah. Setelah lulus SMA." Wanita itu tak malu mengakui jika dirinya menikah di usia sangat belia.

"Beruntung Rafi mengizinkan aku kuliah setelah menikah. Tapi karena hamil Naya, sempat cuti dulu. Naya usia sepuluh bulan, aku malah hamil lagi. Nasya kemudian lahir. Baru, deh, lanjut pendidikan. Nggak sampai S-1, hanya D-3. Biar nggak terlalu dianggap nggak berpendidikan," papar Agita ketika mengobrol dengan beberapa tetangganya.

Itu benar, sebagian besar masyarakat masih sering berpendapat bahwa tidak sekolah sampai jenjang universitas dianggap tidak berpendidikan atau bahkan bodoh. Belum lagi dikata miskin. Padahal, banyak juga orang miskin yang bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi hingga memiliki berbagai gelar formal.

Namun yang tidak melanjutkan ke universitas juga bukan berarti malas, melainkan banyak faktor yang menjadi alasan. Namun, mindset segelintir orang sudah tertanam demikian.

Padahal, untuk pintar hanya butuh rajin membaca buku. Ada pepatah, buku adalah jendela dunia. Namun, bedanya kalau punya guru, dosen atau ustad, ilmu yang dibaca bisa lebih akurat lagi.

"Jeng, akun Facebook-mu, apa?" tanya teman Agita di tempat olahraga rutin.

"Nggak pakai sosmed, Bu Danang," jawab Agita.

"Iya, jangan. Sampean terlalu cantik. Bisa-bisa diincar pebinor." Temannya yang lain menimpali.

"Ga gitu juga, sih, kan bisa pakai sosmed tanpa pasang foto pribadi. Belum pengen aja," jawab Agita santai.

"Tapi, lumayan sih bisa stalking akun anak-anak," balas Bu Danang lagi.

Agita terdiam. Dia ingat kata-kata suaminya untuk bisa menjadi sahabat anak-anak gadis mereka. Mungkin bisa diawali jadi teman sosial media dua gadis kesayangannya itu.

Wanita berambut ikal di bagian ujung itu mengambil ponsel, membuka Playstore dan mengunduh aplikasi Facebook.

Diam beberapa saat, dia lantas mengusap keringat di wajah dan lehernya setelah melakukan zumba. Lalu kembali nenatap layar ponsel dan menekan tombol buat akun.

Agita Sanjaya, dia menggunakan nama asli. Namun, dia hapus lagi. Dia ragu akankah anak-anaknya menerima pertemanan darinya? Sebaiknya gunakan nama palsu: Gita S.

Akhirnya dia memutuskan memakai nama itu. Lalu, setelah melalui beberapa tahapan, akunnya akhirnya bisa digunakan. Orang yang pertama dia cari adalah Naya Vita Adrian, tidak ditemukan. Sekalipun ada, bukan wajah putrinya.

Naya Vita, Naya Philein, hingga Naya Vita Philein, akhirnya ada. Agita tersenyum kecil. Masuk profilnya dan foto-foto sang putri semua dalam mode privasi umum, dapat dilihat siapa saja. Meski Agita tidak memakai sosial media, dia sering mendengar bahwa aplikasi itu memiliki beberapa setting-an privasi. Dan mengejutkan, akun sang anak bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja.

Segera dia kirim permintaan pertemanan. Selanjutnya dia mencari Nasya di daftar teman Naya.

"Jeng, ayo pulang!" teriak Bu Danang dan beberapa tetangganya yang telah rapi mengganti pakaian olahraga mereka dengan gamis ataupun pakaian yang biasa mereka pakai.

Agita segera bangkit, menyambar tas olahraga dan berjalan bersama mereka. Setelah tiba di rumah, dia cek akun Facebook lagi, Naya belum menerima pertemanan dengan dirinya. Segera dia menambahkan teman-teman anaknya untuk meyakinkan Agita bahwa akun tadi bukanlah akun robot.

PHILEIN (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang