Part 3

607 105 4
                                    

"Sorry Sha. Nunggu lama ?" Tanya Kalandra, seraya meletakan tas ransel miliknya diatas meja.

Latisha mendongak. "Gak kok Ka. Santai aja. Urusan lo udah kelar ?" Tanya Latisha.

Sejak Latisha memberikan no wa nya kepada Kalandra, pria itu jadi sering menghubunginya. Hingga ia menawarkan diri untuk membantu Latisha mengerjakan skripsinya. Toh, Kalandra bisa dibilang lebih senior daripada Latisha. Karena pria itu sudah selesai duluan mengerjakannya.

Dan disinilah mereka sekarang. Disebuah kafe yang menyediakan colokan disetiap mejanya. Desain kafenya pun membuat siapapun yang berkunjung akan merasa nyaman.

"Lo mau pesan apa ?" Tanya Latisha.

Ia sudah lebih dulu memesan kentang goreng, nugget, serta sosis untuk cemilannya. Ditambah dengan segelas lemon tea sebagai penghilang rasa haus pasca memakan semua cemilan yang berjejer rapi diatas meja.

"Ice cappucino aja. Cemilan ga usah. Nyomot yang lo pesen aja."

Latisha mengangguk, memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan Kalandra.

"Jadi gimana hasil bimbingannya ?" Tanya Kalandra. Tangannya mulai membaca berkas yang ada diatas meja. Melihat satu per satu berkas tersebut.

"Masalah penulisan yang banyak direvisi. Maklumlah gue ngerjainnya malam. Jadi sering typo." Latisha menyengir. "Eh tapi gue udah mulai masuk bab IV nih, bantuin ya. Gue ga gitu ngerti gimana ngerancang sistem."

"Iya. Gue baca dulu ya, habis itu kita rancang sama-sama."

Latisha mengangguk antusias. Lalu memperhatikan Kalandra yang serius membaca berkas skripsinya. Pria itu terlihat semakin tampan dengan raut wajah seriusnya. Dahinya sesekali mengkerut, lalu datar kembali. Dan tanpa Latisha sadari, ia sudah memperhatikan Kalandra selama sepuluh menit sambil tersenyum tipis.

"Sha..." Kalandra melambaikan tangannya didepan wajah Latisha. "Lo ga dengerin gue ya ?"

"Eh...apa ?"

Kalandra berdecak, gemas. "Gue udah ngomong dari tadi dan lo malah ngelamun. Gue tau kok kalo gue ganteng, gak usah gitu juga ngeliatinnya." Ucapnya sambil tersenyum geli.

Pipi Latisha bersemu, malu karena tertangkap basah tengah memandangi wajah Kalandra.

"Apaan sih. Gue gak ngeliatin lo kok." Elaknya, lalu meneguk lemon tea miliknya. Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatian Kalandra.

"Iya, ga ngeliatin, tapi mandangin." Ucap Kalandra lagi, yang menambah rona merah dipipi Latisha.

"GR banget dah. Udah ah, gue ke toilet dulu. Lo lanjutin dulu aja."

Latisha bergegas menuju toilet. Dia sama sekali tidak ingin buang air kecil. Dia hanya tidak ingin digoda lama-lama oleh Kalandra yang malah memberi efek tidak baik untuk jantungnya. Karena sejak ia menatap pria itu, jantungnya tidak berdetak dengan normal.

Seingatnya, detak kencang seperti itu ia rasakan hanya saat ia berada didekat Gandhi. Namun entah kenapa ia juga merasakannya sekarang saat bersama Kalandra.

"Gue kenapa sih." Omel Latisha, kepada dirinya sendiri seraya meletakkan tangan di dada. Merasakan detak jantungnya.

Beberapa menit kemudian, Latisha keluar dari toilet. Ia mendapati Kalandra masih sibuk dengan berkas skripsi miliknya. Dia terlihat mengunyah sesuatu. Mungkin cemilan yang dipesan oleh Latisha tadi.

Latisha merasa lega karena Kalandra tidak lagi membahas tentang dirinya yang tertangkap basah memandangi pria itu. Kalandra malah langsung membahas apa saja yang harus dikerjakan lebih dulu oleh Latisha untuk memulai Bab IV skripsinya.

Latisha menyimak apapun yang dikatakan oleh Kalandra. Sesekali mengangguk, lalu mencatat poin-poin penting.

Diskusi mereka terhenti saat ponsel Latisha berdering. Lagu flashlight mulai mengalun indah, yang menandakan bahwa Gandhilah yang menghubunginya. Karena nada itu khusus untuk pria yang berstatuskan sahabatnya itu.

Latisha sontak menerima panggilan tersebut, dengan nada antusias, seperti biasanya.

"Ya Dhi." Sapanya saat sudah terhubung.

"Hmmm. Sha." Ucap Gandhi, ragu-ragu. Ia terdengar ingin menyampaikan sesuatu namun tidak enak dengan Latisha.

Latisha menghela napas, sudah menebak apa yang akan dikatakan oleh Gandhi. Sebenarnya, Gandhi telah berjanji untuk menemaninya menonton film Danur malam ini. Ia bahkan telah membeli tiket untuk mereka berdua. Namun dari nada bicara Gandhi barusan, ia bisa menebak bahwa pria itu pasti akan membatalkan lagi janji yang telah ia buat sendiri.

"Kenapa ? Lo gak bisa nemenin gue nonton ?" Tebak Latisha langsung.

"Sorry ya Sha, Friska tiba-tiba ngajak jalan. Dia lagi suntuk dan pengen jalan-jalan."

Latisha diam.

"Nontonnya dicancel besok aja ya ? Gue janji bakalan nemenin lo."

Latisha berdecak didalam hati. Lagi-lagi pria itu berjanji padanya. Dan setelah itu pria itu jugalah yang akan mengingkari janjinya sendiri.

"Lo gak perlu janji apa-apa lagi. Gue bosen denger semua janji-janji lo itu !" ucap Latisha kesal, lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Dia kesal sekali. Bukan, dia bukan cemburu kepada Friska. Ini lebih kepada sikap Gandhi yang membuatnya terlihat tidak berarti apa-apa. Bukannya mereka sahabatan ? Bahkan mereka telah dekat sebelum pria itu bertemu dengan Friska.

"Pacar lo ?" Tanya Kalandra, penasaran karena raut wajah Latisha berubah menjadi sedih dan juga kesal.

Latisha menggeleng.

"Gebetan ?" Tanya pria itu lagi.

Latisha kembali menggeleng. "Sahabat gue."

Kalandra mengangguk paham. "Sahabat yang lo suka." Ucapnya.

Latisha terkejut. Sontak menoleh kearah Kalandra.

"Gue bener kan ?" Tanya Kalandra. "Lo suka sama sahabat lo. Dan barusan sahabat lo ngebatalin janji karena dia lebih mentingin pacarnya dari pada lo." Tebaknya, tepat sasaran.

Latisha mengerucutkan bibir. "Keliatan banget ya ?" Tanyanya.

Kalandra mengangguk. "Mata lo ngejelasin semuanya Sha."

Latisha terdiam. Kalandra saja bisa membaca perasaannya terhadap Gandhi. Kenapa Gandhi malah tidak mengetahuinya sama sekali.

"Nonton sama gue aja yuk." Ajak Kalandra, tiba-tiba.

"Hah ?"

"Lo pengen nonton kan ? Nonton sama gue, mau ?"

Latisha diam. Menatap Kalandra, lalu menganggukkan kepalanya.

Mungkin dia harus terbiasa tanpa Gandhi. Dia harus membiasakan diri untuk berteman sama siapa saja. Karena selama ini, hanya Gandhi yang selalu berada didekatnya, hingga ia lupa bahwa Gandhi bisa saja meninggalkannya. Seperti yang sering pria itu lakukan sekarang.

***

Bersambung

Halo.
Bantu subscribe dan like channel youtube aku dong.
Makasih 🤗

Kalandra & LatishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang