Hari ini melelahkan sekali. Pak Raka kedatangan banyak tamu. Beberapa klien membuat janji di hari yang sama. Hampir menjelang Maghrib, dan suasana kantor tak sesibuk tadi. Seperti biasa aku membereskan ruang pantry yang lumayan berantakan hari ini, sekalian menunggu adzan Maghrib. Lebih baik pulang setelah shalat biar tidak terburu-buru. Beberapa pegawai kulihat mulai berkemas-kemas hendak pulang. Saat melintas di depan ruangan pak Raka, kulihat ia masih sibuk. Bersama beberapa rekan kerjanya sesama pengacara, sepertinya mereka masih membahas hasil pertemuan dengan para klien.
Kuketuk pintu ruangan, lalu kukemas gelas-gelas dan piring yang telah kosong. Pak Raka memberi kode kepadaku untuk mendekat.
"Buatkan kopi lagi untuk kami ya mbak. Dan kudapannya jangan lupa."
"Baik pak," jawabku. Sepertinya pak Raka akan lembur malam ini. Mungkin saja ia mendapatkan kasus yang memerlukan perhatian khusus. Kuhitung jumlah orang yang ada di ruangan. 6 orang, 4 orang dari firma ini, dan yang dua lagi sepertinya aku belum pernah melihatnya. Tapi tunggu dulu, baru kusadari salah satu dari mereka melihatiku terus dari tadi. Siapa dia? Kucuri pandang padanya, wajahnya seperti bukan orang asing. Tapi.. Ah sudahlah, kuabaikan perasaan tidak enak karena orang itu.Kuracik kopi jenis Arabika yaitu Kopi Kolombia untuk disuguhkan pada tamu. Sebenarnya pak Raka lebih menyukai kopi jenis Liberika dan kopi Jamaika. Seleranya benar-benar kopi mahal. Dua kopi itu hanya aku buatkan ketika pak Raka sendirian di ruang kerjanya. Di pantry ini berjejer beberapa toples jenis kopi, teh dan coklat. Pak Raka memang meminta itu, katanya untuk persediaan jika ada permintaan khusus dari tamu. Tak lupa kusiapkan stevia sebagai pengganti gula untuk pak Raka. Untuk hal ini aku selalu memastikan ia memakainya sebagai pengganti gula.
Beberapa kudapan aku siapkan juga. Red velvet dan martabak spesial kesukaan pak Raka sudah pasti ada di daftar menu. Perpaduan yang unik menurutku. Red velvet dan martabak. Dua bulan di sini, hampir semua hal tentang pak Raka aku mulai hapal. Makanan dan minuman kesukaan, warna favorit, parfum favoritnya, ukuran sepatunya, merek sabun dan pasta giginya pun aku tahu. Kantor ini ibarat rumah kedua pak Raka. Jadi terkadang ia tak pulang dan bermalam di sini.
Tante Lia, mama pak Raka telah menceritakan luar dalam tentang anaknya kepadaku. Aku memang mengenal baik tante Lia. Beliau teman baik mama. Ketika mama dalam keadaan terpuruk karena kasus yang menimpa papa, tante Lia yang setia menemani mama. Hingga dua bulan yang lalu tante Lia memintaku untuk menjaga anaknya.
~~~~~~~~~~~
"Ratri, kamu masih ingat dengan Raka kan? Anak tante. Teman masa kecilmu dulu," tanya tante Lia sambil membantuku mengingat tentang anaknya.
"Tentu saja Ratri ingat Tante," entahlah kenapa aku sedikit tersipu ketika mengingat nama Raka. Raka teman masa kecilku, yang selalu mengangguku, selalu menggodaku, tapi juga selalu melindungiku. Seperti apa ya dia sekarang.
"Dia telah menjadi lelaki tampan sekarang. Kamu pasti suka kalau ketemu dengannya. Sayangnya sampai saat ini dia masih sendiri. Sifat gila kerja papanya benar-benar menurun pada Raka. Tante khawatir saja dengan kesehatannya. Kamu mau tidak jika Tante memintamu menjaganya?" permintaan yang sangat sulit kutolak, tentu saja.
"Beradalah di sisi Raka. Dan pastikan ia menjaga kesehatannya. Dan juga hatinya. Tante serahkan Raka padamu sayang," kulihat tante Lia dan mama saling mengangguk lalu mereka berdua menggoda perasaanku tentang Raka.
~~~~~~~~~~~
Dan sekarang, di sinilah aku. Di sisi Raka. Pak Raka tepatnya. Ya, lebih baik memanggilnya "pak" agar ia tak menyadari siapa aku. Kutepis sekelebat ingatan, aku harus segera membawa hidangan ke ruangan pak Raka.Sedikit canggung aku meletakkan kopi dan kudapan di meja. Apalagi jika bukan karena sepasang mata yang membuatku tak nyaman. Orang yang tadi masih sama, menatapku berulang kali. Saat aku meletakkan kopi di depannya, sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu. Aku berpikir keras untuk mengingatnya.
"Kamu Ratri kan?" tiba-tiba ia bertanya dengan berbisik kepadaku. Hey, dia tahu namaku.
"Kamu lupa sama saya? Saya teman papamu. Bagaimana kabar papamu di penjara?" kutatap wajahnya. Sepertinya aku mulai mengingatnya. Sekilas kulihat sorot matanya menatap aneh kepadaku.
"Maaf, saya permisi dulu," tak kujawab pertanyaannya. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Aku ingat orang itu bernama Ridwan. Ya, dia teman bisnis papa. Namun karena dia, papa berakhir di penjara.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DARI RUANG PANTRY
Genel KurguCerita ini awalnya dibuat untuk memenuhi tugas di grup fiction class. Tapi sepertinya menarik jika dibikin cerbung. Nantikan kelanjutannya dengan sabar ya. 😅🙈