Aku menjabat balik tangannya.
"Akram." katanya sambil sedikit mengguncangkan tangannya yang sedang menjabatku.
Oh, ini ya, sosok Akram secara dekat. Apa yang lebih dari dia? cih!
Sumpah, ada banyak pilihan yang dapat kulakukan, seperti langsung melepas tangannya, memelototinya, meneriakinya, mengoloknya, memasang muka tanda bahwa aku jijik kepadanya, bahkan aku dapat saja menginjak kakinya, setelah merasakan sepatunya bersebelahan dengan milikku.
Namun kenyataannya aku hanya melongo seperti tidak tahu bahwa ini akan terjadi. Memang begitu adanya, sih.
Namun Dea berbisik "Jawab aja! and it's over!" Entah kenapa Dea melakukan itu. Jelas-jelas suaranya terdengar juga sampai ke telinga Akram.
Oke, Baiklah, dalam satu tarikan nafas...
"Elora." Seraya melepaskan tanganku yang sedari tadi ia jabat. Apakah tadi aku menjabat balik tangannya? Oh, jelas tidak.
OSD meneriaki kami habis-habisan sedangkan seisi kantin tetap diam memerhatikan. Sungguh memalukan.
Dengan segala keberanianku, "Please, gue mohon lo sekarang balik ya, ok?" Suara yang kukeluarkan mungkin saja tertutup oleh kerasnya teriakan OSD yang masih saja bersorak.
Lelaki itu, si Akram, sepertinya mendengar ucapanku. Ia menunduk sambil merapikan rambutnya. Oh, tidak! Ia tidak dengar.
"Hmmm.." Ah, sial! Congornya mau ngomong apa lagi, coba?
Tiba-tiba ia menatap mataku yang memang sedang menatapnya juga.
"Oke," Syukurlah, ternyata dia dengar. "Sampai ketemu nanti, Elora." Wajah itu lalu tersenyum tipis dan pergi begitu saja.
Ia kembali ke habitatnya dan aku pun menghabiskan rotiku, disusul bunyi bel masuk pelajaran selanjutnya.
🍯
Aku duduk di meja Dea, sambil berpegangan ke satu-satunya kursi di kelas yang belum dinaikkan ke atas meja. Memasang tatapan kosong menghadap Vero dan Dea yang sedang melaksanakan piket.
Well, apa yang terjadi setelah tragedi kantin itu? aku menolak untuk membahasnya dengan Vero dan Dea. Mereka memaksaku. Namun, aku bilang "Nanti, pulang sekolah."
"Lor, kuy, bahas." ujar Vero memecah keheningan sambil menaruh sapu di ujung kelas, tanda bahwa ia telah selesai dengan tugasnya. "AYO!" sahut Dea. Aku mengangguk.
Vera dan Dea menurunkan 2 buah kursi di seberangku dengan maksud agar mereka dapat menyandarkan bokongnya di meja, sepertiku.
"Jadi gini Lor, menurut lu Akram ganteng ga?" Gurau Dea.
"Apaan sih, bego!" Vero membalas. "Jadi lo diapain sih sama OSD tadi pagi?"
"Uhmm.. jadi kan gue jalan gitu mau masuk koridor kan, terus ada mereka duduk di yang sebelum koridor gitu lah," jawabku dalam satu nafas.
"Yaudah gue jalan kan, terus dipriwitin sama mereka. Terus pada teriak 'Akram! Akram!' gitu dah!"
"Ya gue sih rada panik ya, cuman ga gue bawa serius. Gue kira udah lupa kan, eh, tau-tau disamperin di kantin. Udah gila kali ya!" Aku mengakhiri kalimatku.
"Kesambet apaan si Akram bisa godain cewe dah? selama ini dia kan jual mahal banget, gapernah ada ceritanya dia mau deketin cewe, ya kan Ver?" Dea saling bertatapan dengan Vero.
"Hm, iya sih. Tapi ya Lor, kalo emang Akram beneran mau deketin lo.. Aduh! gatau deh! Tampang aja senga, sok ganteng lagi! Mana sok sweet lagi tadi di kantin! Belom denger tuh gue, riwayat dia jadian sama orang. Kerjaannya berantem mulu, sih! Awas aja kalo sampe lo disakitin." Timpal Veroline.
KAMU SEDANG MEMBACA
a copy of you
Teen FictionElora Audi Bethania, murid pindahan dari Bandung ke Jakarta, pada hari pertama sekolahnya telah diberikan perhatian khusus dari laki-laki idaman satu sekolah, Akram Ravindra. Akram Ravindra, ketua geng, pentolan basket putra, yang terkenal anti-cewe...