4

14 3 0
                                    

Perjalananku ke halaman parkir untuk menghampiri Mamang sangat suram kali ini. Dari turun tangga, melewati koridor, hingga halaman sekolah, rasanya seperti semua orang membicarakanku. Terang-terangan. Mereka berbisik, di depanku, yang mana bahkan aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

Ya, kata-katanya tidak akan jauh-jauh dari 'Itu Elora yang tadi Akram blablablabla kan?'. Muak aku.

Namun dengan segala kelapangan dadaku, wkwkwk, aku dapat melewatinya. Seperti teknikku, aku hanya akan pura-pura sibuk sendiri selama melewati lautan manusia itu. Biasanya aku menggaruk hidungku, atau menggaruk tanganku, atau sibuk dengan ponselku.

Tapi karena sepanjang jalan situasinya seperti itu, aku melakukan ketiga teknik tersebut.

Aku melangkah keluar gerbang lalu memfokuskan diriku untuk menyebrang di jalan depan sekolah yang mana ramai kendaraan berlalu lalang. Katanya selalu begini setiap pulang sekolah.

Jalanannya memang kecil sih, tapi ya lumayan sih, kalo keserempet.

Setelah tiba di halaman parkir, aku bernafas dengan lega karena dapat melewati jalanan yang sumpah, sangat ramai itu.

Merasa ada klewer klewer di sepatuku, aku menunduk kebawah, dan benar. Tali sepatu sebelah kananku lepas. Aku menepi agar tidak menghalangi pintu masuk parkiran, lalu menunduk, jongkok, lalu mulai melepas talinya lalu mengikatnya kembali.

Entah darimana, tiba-tiba saja sesosok makhluk berdiri di depanku. Karena aku sedang menunduk, yang dapat kulihat hanya sepatunya. Ciri-cirinya, warna hijau tua, tali sebelah kanan putih, kiri hitam, lalu sedikit kotoran tanah di ujung depan sepatu. Untung saja kaos kakinya sesuai aturan, warna putih. Eh, tapi ternyata panjangnya hanya se-mata kaki.

Tetot! semua detail dari alas kakinya menyalahi aturan sekolah.

"Elora!"

Setelah selesai mengikat taliku dengan sempurna sambil berceloteh sedikit tentang penampilan alas kakinya, dan setelah mendengar congornya yang sudah memanggil namaku, aku mendongak melihat sosok itu.

Kampret! si Akram!

Aku bergegas bangkit sambil membetulkan rok ku yang menjadi lecak karena tadi harus berjongkok.

"I.. iya kak." aku s a n g a t gugup.

Aku memandangnya. Matanya sedang menyipit dan dahinya mengkerut karena matahari menghadapnya. Maksudku, ia yang menghadap matahari. Lagian untuk apa matahari ingin menatap muka mengerikannya itu?

"Hari ini mau pulang bareng?"

Och my got w degdegan syid. Bukan karena aku menyukainya ya, hanya saja, kenapa pertanyaan ini dilontarkan secara tiba-tiba dari orang se-barbar ini kepadaku? Kenapa aku?

Aku menggelengkan kepala. "Maaf, udah dijemput."

"Siapa yang udah dijemput?" Pertanyaan yang bodoh. Menurutnya siapa lagi?

"Aku, lah!"

"Oh, kamu." Ia lalu membentuk senyum ke sudut kanan. "Berarti mulai sekarang kita aku-kamuan ya."

Aku melongo, mengerutkan dahiku. "Hah?"

"Ya, aku-kamuan," aku terdiam. Maksudnya apaan coi? "Itu sedan item punya lu?" Lalu ia melanjutkan kata-katanya.

Aku langsung baru teringat kejadian halaman parkir kemarin. Kok dia tau? sial. Padahal acting Mamang kan bagus!

Btw, tadi katanya aku-kamuan!

a copy of youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang