Chapter 1

466 26 1
                                    

Pagi ini langit cerah dengan sedikit awan. Matahari memancarkan sinar hangatnya diluar sana. Tak terkecuali gadis bernama Elisa. Gadis yang akan genap berusia 17 tahun itu tengah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

Setelah menyandang tas selempangnya, Elisa keluar dari kamarnya. Menuruni tangga yang langsung terhubung dengan ruang keluarga, didapur ibunya tengah menyiapkan sarapan, begitu sibuk bolak-balik dari kabinet dapur ke meja makan.

"Sarapan sudah siap!" Seru ibunya. Elisa menghampiri ibunya. Dia merupakan seorang wanita yang kuat dan mandiri, menghidupi Elisa seorang diri tanpa suami. Ayahnya menghilang ketika Elisa masih dalam kandungan. Dia tidak pernah melihat ayahnya secara langsung, hanya dari sebuah foto pernikahan ibunya yang dipajang dikamar utama.
Entah kemana ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua atau barangkali dia sudah meninggal dunia? Elisa tidak tahu dan sedikit tidak peduli.
Entahlah, seolah- olah dia sudah biasa hidup tanpa seorang ayah.

Setahu Elisa ketika awal-awal ayahnya menghilang, ibunya kesana kemari mencarinya. Melapor pada pihak berwajib hingga berbulan- bulan pencatianpun tidak pernah ditemukan jejaknya. Seolah-olah menghilang di telan bumi.
Hingga saat ini ibunya yang bekerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Ibunya bekerja disebuah perusahaan kecil, sebuah perusahaan percetakan.

"Apa hari ini ibu tidak bekerja?" Tanya Elisa. Karena biasanya ibunya sudah berangkat bekerja pagi-pagi sekali.

"Ibu hari ini sedang cuti, ibu sedikit tidak enak badan. Tapi tenang saja, besok juga sembuh kok." Ucap ibunya sambil menyeruput teh herbal miliknya. Wajahnya memang agak pucat sih.

"Apa tidak apa-apa bu? Apa tidak sebaiknya periksa ke klinik?" Kata Elisa memandang khawatir ibunya. "Kalau ibu mau aku akan ijin sekolah hari ini untuk menemani ibu ke klinik." Sambung Elisa sambil duduk mendekati ibunya.
Diusapnya lengan ibunya yang hangat. Raut lelah terlihat jelas diwajah ibunya yang cantik. Meski usianya hampir mencapai 40 tahun, namun ibunya masih cantik dengan rambut berwarna cokelat bergelombang dan mata kelabu. Menurut Elisa dirinya biasa saja dengan rambut hitam panjang bergelombang dan iris zamrud, sesuatu yang sedikit disesalinya yang juga merupakan warisan dari ayahnya. Entah kenapa hal- hal yang menyangkut ayahnya membuatnya sedikit tidak suka.

"Tidak perlu Elisa, ibu baik- baik saja. Istirahat sebentar hari ini besok juga sudah sembuh. Cepat sarapan nanti kau terlambat!" Kata ibunya sambil mengusap surai legam anaknya.

"Baiklah,!" Elisa memakan sarapannya dengan cepat, setelah meminun jus jeruknya ia berdiri dan berjalan kearah pintu depan.

"Hati-hati dijalan, Elisa!" Seru ibunya dari dalam.

"Ya bu." Jawab Elisa sambil membuka pintu.
Semilir angin membelai wajahnya lembut dan menerbangkan helai-helai rambutnya. Menelusuri jalanan sambil bersenandung kecil.

Pagi- pagi seperti ini udara memang masih bersih tanpa ada banyak polusi. Jadi terkadang Elisa suka berjalan kaki dibandingkan naik angkutan umum atau bus. Oleh sebab itu ia sering pergi pagi-pagi sekali untuk menghindari datang terlambat ke sekolah.

Selain suka suasana pagi, Elisa pikir berjalan kaki juga menyehatkan tubuh.

Elisa tinggal di komplek perumahan menengah kebawah. Dikota Northnell, sebelah utara kota Hollin, Inggris.

Sekolahnya tidaklah jauh, hanya  satu kilometer dari kompleknya. Nellivan school terletak dipusat kota. Sekolah yang diidamkan setiap anak dikotanya. Beruntung Elisa mendapatkan beasiswa karena kepintarannya di bidang akademik. Membuatnya bersekolah disana tanpa memikirkan biaya bulanan. Dan dapat mengurangi pengeluaran ibunya, itu yang terpenting.
Mereka bukanlah orang berada mungkin masuk kategori tidak mampu, Elisa meringis meratapi nasipnya.

Saat melewati jalanan sepi di sebuah gang. Elisa menoleh kesamping dan terkesiap. Tiba-tiba saja dinding disampingnya bersinar redup berwarna ungu kehitaman.
Elisa mundur beberapa langkah. Takut sekaligus penasaran. Apa yang menyebabkan dinding tembok usang mengeluarkan sinar berbentuk lingkaran dan memancar-mancar seakan bergerak-gerak.

Elisa yang masih berdiri disana hanya bisa terdiam seribu bahasa, tidak mengerti apa yang terjadi pada tembok di depannya.
Tiba-tiba dari lingkaran ungu kehitaman tersebut muncul sebuah tangan, menggapai dengan lemah, seakan seseorang tengah berusaha keluar dari sana.
Elisa mundur dan bersandar ke tembok diseberangnya saat sesosok gadis benar- benar muncul dihadapannya. Gadis itu dengan payah mengeluarkan tubuhnya dari lubang hitam itu dan jatuh ke tanah.

"Hei... Awas!" Elisa memperingatkan karena melihat bagaimana gadis itu jatuh ke tanah dengan keras.
Gadis itu terbaring lemah, dalam keadaan menelungkup. Erangan terdengar saat gadis itu berusaha bangun.
Elisa ingin membantu, tapi ragu melihat cara gadis itu muncul.
Apa ini, sihirkah?

"to ... tolong!" Gadis itu terengah sambil menengadah menatap Elisa. Matanya berwarna cokelat keemasan terlihat sendu. Rambutnya yang berwarna cokelat madu kusut masai, begitupun gaun yang dikenakannya. Berwarna putih dan kotor di beberapa bagian. Pada bagian dada terdapat banyak bercak darah merah kehitaman.

Elisa mendekati gadis itu setelah memastikan bahwa dia tidak berbahaya dan melihat keadaan gadis itu yang kesakitan.

"Kau tidak apa-apa?"  Tanya Elisa sambil membantu gadis itu duduk. "Aku akan panggilkan bantuan. Kau terluka!" Sambung Elisa setelah melihat darah segar membasahi gaun pada bagian dada gadis misterius itu.

"Kumohon ... tetaplah ... disini!" Sambil bernapas terputus - putus gadis itu memegang tangan Elisa erat.

"Tapi ... kau terluka! Aku akan mencari bantuan setelah itu aku akan kembali kesini." Ujar Elisa terbata sambil menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari seseorang. Namun gang itu sangat sepi pada jam sibuk seperti ini.

"Tidak ... kumohon, dengarkan aku." Ucap gadis itu semakin erat memegangi lengan Elisa. Dirinya yakin setelah ini akan membekas.

"Maukah kau berjanji padaku?" Ucap gadis itu sambil terengah-engah menahan sakit di dadanya. "Berjanjilah kau akan menjalani takdirmu." Sambungnya tanpa mengalihkan pandangannya pada Elisa yang ada didepannya.

"A ... apa maksudmu?" Tanya Elisa bingung. "Takdirku? Kau ini bicara apa?" Sambungnya tidak mengerti.

"Berikan darahmu!"Lirih gadis itu sambil memegang dadanya.
"A...apa maksudmu!!" Elisa melotot tidak mengerti.

"Darah apa maksudmu? Kalau kau butuh darah untuk tranfusi maka akan ku lakukan. Tapi pertama-tama kita harus...." Ucapan Elisa terputus kala gadis didepannya memegang kedua tangannya semakin erat.

Elisa yang menatap dengan tatapan bingung terkejut saat jari telunjuknya berdarah. Tidak banyak namun perih. Bagai teriris pisau.
"Hei ... apa yang kau lakukan?" Seru Elisa ketika gadis misterius itu membawa tangannya ke dada gadis yang kian melemah itu.

Seketika Elisa merasakan kepalanya pening. Pandangannya berputar. Sambil memegang kepalanya Elisa menatap gadis itu penuh tanya.

"Hah ... Hah ... Ap..apa yang ..." Elisa dengan payah menjaga kesadarannya.

Gadis itu terpejam dan berbisik.
"Kumohon jalani takdirku seperti kau menjalani takdirmu! Aku tahu, kau adalah orang yang tepat." Gumam gadis misterius itu kepayahan.

Apa maksudnya? Takdir apa?

Sebelum semuanya gelap. Elisa mendengar gadis itu berkata lirih.

"Maafkan aku ... "

***

BLOOD PRINCE (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang