Aroma darah menguar dengan cepat terbawa angin malam itu, tubuh-tubuh yang terbaring kaku di tanah menambah ngeri suasana barak.
"Bunuh semua jangan ada yang tersisa!" Perintah seorang pria yang baru saja mencabut pedangnya dari tubuh yang kini jatuh tak berdaya ke tanah.
Semua yang mendengarnya mengangguk patuh dan segera berkeliling untuk mencari seseorang yang masih hidup dibarak itu. Mereka semua mengenakan jubah merah dengan penutup kepala, pedang sihir di tangan mereka terhunus dan masih basah oleh darah segar.
Seorang pria muda yang melihat hal itu dari balik sebuah lemari di samping barak segera menyembunyikan dirinya. Ia menekan luka diperutnya dengan susah payah, peluh berjatuhan dari keningnya dan membasahi wajahnya. Namun ia mengabaikannya dan segera membuat segel sihir. Dari balik telapak tangannya muncul seekor burung gagak yang tidak terlalu besar.
"Pergilah, sampaikan apa yang terjadi disini pada master." Ucapnya dengan terengah-engah.
Burung gagak itu mematuk-matuk telapak tangannya dua kali kemudian menghilang. Pria itu menghela napas lega, setidaknya ia berhasil menyampaikan apa yang terjadi disini dan memberi tahu master untuk berhati-hati.
"Uhuk...uhuk.." ia terbatuk dan hampir limbung, dengan sisa tenaganya ia bangkit. Ia akan mempertahankan barak sampai titik darah terakhir, dengan mantap ia keluar dan menyerbu kawanan yang kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
Pria itu berhasil membunuh satu orang kawanan itu namun ia kalah jumlah, dengan cepat ia pun tumbang dan jatuh ketanah.
.
.
.Elisa menguap dengan lebar pagi itu hingga matanya berair. Ia dengan malas menuruni anak tangga asramanya seorang diri. Mungkin karena ini masih terlalu pagi untuk pergi ke kelas, makanya masih sepi. Ia membuka pintu ganda ruang makan di asaramanya, didalam hanya ada segelintir siswa yang sedang sarapan.
Elisa mengambil coklat panas dan roti lapis isi selai kacang dan membawanya ke meja terdekat, dan dalam diam memakannya. Dua minggu lebih berada di akademi ini membuatnya sedikit terbiasa, baik dengan suasananya maupun dengan sihir-sihirnya. Walau ia sungguh merindukan ibunya namun ia berusaha menahannya, kadang ia merasa putus asa, namun dengan cepat ia membuang itu. Ia harus kembali bagaimanapun caranya.
Setelah menyelesaikan sarapannya pagi itu ia kembali berjalan menuju kelasnya, didalamnya masih kosong dan sepi. Elisa duduk dibangkunya dan kembali merenung.
Dua hari berlalu sejak pertandingan kenaikan tingkat kelas emas itu, selama itu pula ia tidak bertemu Arshen. Bukan berarti ia ingin bertemu atau bagaimana, ia hanya ingin bicara sekali lagi dengannya dan meminta bantuannya.
Mencari cara bagaimana ia kembali kedunia asalnya."Kupikir ini terlalu pagi untuk seorang gadis melamun,"
Elisa tersadar dari lamunannya dan menoleh kearah pintu, disana Arshen tengah bersandar pada pintu dengan tangan terlipat di dadanya. Sudut bibirnya naik keatas dan mata biru lautan itu tengah menatap Elisa.
Elisa menarik napas dan berdehem sebentar, "bukan urusanmu!"
Arshen terkekeh dan berjalan mendekati Elisa yang mengkerut di kursinya. "Kupikir ada yang merindukanku, rupanya aku salah. Sayang sekali!"
Pemuda setinggi 176cm itu berdiri didepan meja Elisa, kedua tangannya bertumpu di disana dan sedikit membungkuk untuk melihat wajah Elisa yang menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOOD PRINCE (Revisi)
RomanceElisa terseret ke dunia penuh sihir dan menjalani takdir sebagai puteri mahkota pengganti. Selain itu ia di hadapkan pada pilihan memenuhi takdirnya atau membuangnya. Nyatanya tidak segampang itu, permusuhan antara dua kerajaan membuatnya ikut ke p...