Chapter 8

162 12 1
                                    

Sudah beberapa hari berlalu semenjak pertemuan keduanya dengan laki-laki menyebalkan yang sekarang diketahuinya bernama Arshen, yang juga merupakan putera mahkota. Dan parahnya, entah bagaimana dia bisa merindukan interaksi diantara mereka berdua.
Matanya selalu celingukan kesana kemari mencari keberadaan pemuda itu namun tidak pernah melihatnya.

Dan entah bagaimana selama beberapa hari inipun dirinya merasa tengah diawasi. Elisa tidak tahu dari mana datangnya perasaan seperti itu, hanya saja hal itu sangat mengganggunya. Membuatnya tidak bisa leluasa melakukan apapun.

Saat ini dia sedang berada di area latihan memanah. Bukan hanya dia yang ada di sana. Ada beberapa murid laki-laki dan perempuan yang sedang berlatih atau hanya duduk-duduk dibawah pohon yang ada dipinggir area latihan.
Walau sudah jam pulang, namun sepertinya masih banyak murid yang belum kembali ke asramanya.

Sekali lagi ditariknya tali busur sekencang yang dia bisa. Tangannya bergetar menahan anak panah sebelum melepaskannya ke papan sasaran yang ada di depannya.
Tak. Anak panah itu menancap di lingkaran pertama dari luar papan target.

Yes. Akhirnya latihannya beberapa hari ini membuahkan hasil. Elisa tersenyum senang dan terkekeh bangga pada hasil kerja kerasnya sendiri.

"Kau senang karena anak panahmu menancap di pinggir papan sasaran pada jarak sepuluh meter?" Suara bariton mengintrupsi dengan sukses kebahagiaan gadis itu.

Elisa menoleh kebelakangnya dan mendapati Arshen berdiri angkuh disana. Rambutnya yang acakan hari itu tertiup angin yang anehnya menambah kharisma pemuda itu.

Memang benar yang Arshen katakan, jarak Elisa dan papan sasaran tidak lebih dari sepuluh meter. 
Tapi Elisa memiliki alasan melakukan hal itu, ia melakukannya agar dia dapat fokus ketitik sasaran. Setelah dia terbiasa menembak dalam jarak dekat dia akan menambah jaraknya. 

Arshen berjalan menghampiri Elisa dan berdiri disampingnya. "Berikan busurmu."

Elisa mengernyit bingung namun lekas memberi Arshen busurnya setelah dipelototi laki-laki itu.
"Perhatikan" Arshen berjalan kebelakang beberapa langkah yang diikuti Elisa. Setelah jarak mereka dengan papan sasaran kurang lebih dua puluhan meter barulah mereka berhenti.

Arshen menyiapkan anak panah dan menarik tali busurnya. Matanya menyipit melihat papan sasaran di depan sana.
Elisa disampingnya berdecak kagum memperhatikan sikap tubuh Arshen yang tegap. Otot lengannya terlihat saat melakukan peregangan akibat menarik busur. Posisinya sempurna dengan kaki jenjang yang sedikit direnggangkan.

Slaap. Tak. Anak panah sukses menancap dititik merah bagian tengah papan.

"Lebih banyaklah berlatih. Dan yang paling penting adalah sikap tubuhmu. Semakin kau terbiasa kau akan lebih mudah melakukannya." Arshen kembali berdiri menghadap Elisa yang menganga memperhatikannya.

"Ada apa?" Tanyannya pelan.
Elisa terbangun dari lamunannya. "Eh. Ya ... Mudah saja mengatakannya. Itu karena kau hebat, jangan bandingkan denganku." Lirihnya.

Arshen mendengus geli. "Tumben sekali kau memujiku, kalau kau mau Aku bisa mengajarimu." Tangan kanannya berada dipinggang sedangkan tangan kirinya masih memegang busur.

Elisa menoleh cepat pada Arshen sampai lehernya terasa sakit. Apa dia tidak salah dengar? Arshen ingin mengajarinya memanah? Jangan bercanda.

"Jangan bercanda? Kau adalah ketua dewan elit, bagaimana mungkin mengajariku tanpa memikirkan pandangan orang lain?"

Lagipula dia tidak pernah bercerita pada Sarah dan Julie bahwa ia bertemu pangeran beberapa kali.
Kalau sampai mereka tahu ia di ajari memanah oleh Arshen, bagaimana tanggapan mereka nanti?

Arshen mengernyit tidak suka, "aku belum mengatakannya padamu ya? Statusmu sebagai putri mahkota akan diumumkan sebentar lagi, jadi cepat atau lambat mereka juga akan tahu."

Elisa menggigit bibir bawahnya gundah, "tidak bisakah mereka menundanya sampai Scharlet ditemukan?"

"Dia menghilang setahun yang lalu dan pengumumannya telah ditunda selama itu, kalau sampai menundanya lagi rakyat bahkan musuh-musuh Lightwill akan curiga dan mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkannya."

Arshen mendekat dan menggapai tangan Elisa kemudian menaruh busur di talapak tangannya.
Elisa menerimanya kemudian menatap mata sebiru lautan itu, "apakah keberadaan putri mahkota sepenting itu?"

"Lebih penting dari apa yang kau pikirkan, aku akan menceritakannya suatu hari nanti padamu." 
Elisa mengangguk mencoba mengerti, "baiklah, akan ku tunggu."

Arshen mengangkat ujung bibirnya tinggi, "jadi bagaimana? Mau belajar memanah denganku?"

***

Arshen tengah mengencangkan manset hitam yang ia gunakan saat sahabatnya Steven mengetuk pintu kamarnya.

"Masuklah." Ujarnya kemudian. 
Steven membuka pintu itu lebar dan menatapnya. Ia juga mengenakan seragam akademi khusus berwarna hitam dengan jubah berwarna sama. Sulur-sulur emas di kelimannya membuatnya terlihat indah sekaligus mewah.

"Apa semuanya sudah siap?" Arshen mengambil pedang dan menyelipkannya dipinggang sambil berjalan menghampiri Steven.

"Sebentar lagi akan dimulai." Jawab Steven sembari mengangguk. Setelah menutup pintu, mereka akhirnya pergi keluar asrama utama.
Kamar asrama putera mahkota berada terpisah dengan kamar murid yang lain. Dengan alasan privasi dan keamanan. Berada disebelah kanan asrama laki-laki. Disana hanya terdapat dua kamar, kamar Arshen itu sendiri dan kamar Steven sahabat sekaligus pengawal kepercayaannya.

Hari ini mereka tengah bersiap adu tanding untuk kenaikan level. level emas khusus divisi Knight terbagi tiga tingkat. Tingkat satu, dua, dan tiga. Setelah level emas tingkat tiga barulah mereka bisa dinyatakan lulus oleh pihak akademi.

Arshen dan Steven sama-sama berada di level emas tingkat dua, dan hari ini seluruh murid yang memenuhi syarat akan melakukan ujian kenaikan level dan akan lulus dari akademi enam bulan kemudian.

Ketika mereka tiba di aula terbuka tempat diadakannya pertandingan, disana sudah banyak murid akademi berkumpul. Laki-laki dan perempuan berbaur duduk di bangku-bangku yang berjejer membundar mengelilingi area lapangan tempat para peserta adu tanding. Dari depan kebelakang bangkunya semakin meninggi sehingga orang yang duduk dibagian belakang tetap dapat melihat jalannya pertandingan. Dibagian depan area lapangan terdapat jejeran bangku yang diisi para pengajar dan dibagian tengahnya duduk Robert dengan raut sumringah.
Hari ini ia akan melihat para muridnya bertarung sekaligus melihat perkembangan kemampuan mereka.
Disisi kanan para pengajar berjejer juga bangku-bangku khusus para peserta ujian kenaikan level kali ini. Arshen dan Steven segera duduk disana yang sudah diisi sebagian oleh teman-teman mereka.

Robert berdiri dari duduknya dan memberi salam pada para muridnya, suasana yang tadi riuh oleh dengungan pembicaraan kini sunyi bak sebuah pemakaman.

"Hari ini kita akan melihat seperti apa pertandingan para murid level emas tingkat dua untuk meraih tingkat yang lebih tinggi. Aku hanya ingin mengingatkan. Ini hanyalah ujian. Bukan pertarungan seaungguhnya. Jadi bertarunglah dengan wajar sampai ada yang menyerah, maka salah satunya akan dinyatakan sebagai  pemenangnya." Suara berat Mr. Robert terhenti sejenak.

"Semua elemen sihir diijinkan kecuali sihir hitam. Penggunaan senjata juga dibolehkan. Jadi saya ingatkan kepada para peserta untuk berhati-hati. Terima kasih." Dengan berakhirnya pidato Robert, hal itu juga tanda dimulainya pertandingan.

***

BLOOD PRINCE (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang