Bagian 6 : Pasangan Abad Ini

10 0 0
                                    


DI Rumah Sakit Polisi, menurut dokter yang memeriksa, luka di pelipis Romeo tidak membahayakan kepalanya. Namun dokter menyarankan supaya Romeo dirawat satu hari lagi di rumah sakit itu untuk pemulihan kondisi kesehatan tubuhnya. Tapi walaupun Gadissa dan The Plastic Four membujuk agar Romeo menerima saran Dokter, Romeo tetap bersikeras mau pulang. "Insya Allah aku sudah baikan, lagian kan dokter juga sudah bilang kalau lukaku tak berbahaya," alasannya, walaupun sesekali denyutan rasa nyeri masih betah menggigit kepalanya. Teman-temannya tak bisa menahan lagi dan mengantarkan ke rumahnya. Sebelum teman-temannya pergi, Romeo berpesan supaya kejadian hari itu tidak usah diberi tahu pada Bella atau teman-teman sekampus lainnya.

Setelah dua hari beristirahat di rumah dan merasa kondisi tubuhnya sudah pulih seutuhnya, Romeo memutuskan pergi ke kampus. Di saat akan mulai menyusun skripsi begini ia enggan terus-terusan bolos kuliah. Pun hari ini, ia mengikuti kuliah―duduk berderet dengan The Plastic Four―sambil memperhatikan seseorang.

Dulu, Gadis berkulit putih halus yang duduk di deretan paling depan, tepat di depan meja dosen itu adalah kekasih hatiku, bisik Romeo dalam hatinya.

Gadis itu―Gadissa―terlihat begitu anggun pagi itu dengan gaun berwarna putih dipadukan dengan rok panjang berwarna biru muda membungkus tubuhnya. Dissa pasti suka sekali sama dua warna itu, pikir Romeo, karena dalam pengamatannya warna pakaian gadis itu selalu saja kombinasi biru muda dan putih. Kalau ia pakai gaun atau baju warna biru muda pasti dipadu sama rok panjang putih atau sebaliknya seperti hari ini, gaun putih dan rok panjang biru muda. Atau mungkin hanya pakaian seperti itu yang ada di dalam lemari pakaiannya, sesekali pikiran konyol itu melintas di benaknya. Lalu ia tergelak dalam hati, mana mungkin gadis berada seperti Gadissa tak punya pakaian lain seperti yang sering terlihat dikenakannya itu.

Gadissa memang selalu serius setiap kali mengikuti kuliah, seperti pagi itu. Sesekali ia menyibak rambutnya tatkala angin yang berhembus nakal membuat rambutnya tergerai menutupi sebelah matanya yang terus menatap lurus memperhatikan Pak Firdaus―dosen mata kuliah Akuntansi Internasional―yang begitu bersemangat menyampaikan materi kuliah. Berbanding terbalik dengan Romeo yang pagi itu seperti enggan melepaskan pandangannya kepada Gadissa, seakan tak ingin melewatkan sedetik waktupun untuk menatap sebelah wajah gadis itu dari sudut tengah ruang kuliah, posisi strategis untuk memperhatikan gerak-gerik mantan kekasih hatinya itu.

Gadissa, dulu nama itu selalu ditunggu Romeo saat setiap kali dosen mengabsennya. Nama yang senantiasa membuat jantung Romeo berdegup aneh setiap kali ada orang yang menyebutnya, dimanapun dan kapanpun. Gadissa, dua puluh satu tahun umurnya. Rambut halusnya selalu tergerai rapi menyentuh bahunya. Hidungnya tidak terlalu mancung namun tampak serasi berpadu dengan sepasang matanya yang indah dan selalu memancarkan pandangan yang meneduhkan hati. Sepasang lesung pipi menawan menjadi penghias senyumnya. Bibir mungilnya yang merah delima selalu mengeluarkan nada-nada merdu dalam setiap rangkaian kalimatnya. Selanjutnya... pikiran Romeo tak berani lagi membeberkan keindahan diri gadis pujaannya, cukuplah hanya Sang Pencipta Yang Maha Tahu yang mengetahui isi pikirannya.

Ketika peristiwa percobaan penculikan beberapa hari yang lalu melintasi benaknya, mengingatkannya betapa waktu itu ia sangat mencemaskan keselamatan Gadissa, kecemasan yang seolah menyadarkannya bahwa rasa sayang itu masih tersisa di hatinya, walaupun hanya berupa keping-keping yang kecil.

"Dissa, mungkinkah kamu kembali menjadi kekasih hatiku...?" seketika Romeo langsung menutup rapat mulutnya. Tapi terlambat, tanpa disadarinya sebaris kalimat yang terlontar begitu saja dari mulutnya itu sudah cukup untuk didengar oleh semua makhluk bertelinga yang berada di ruangan kuliah itu.

Sontak seisi penghuni kelas memandang geli ke arahnya, lalu, "Hahaha!!!" tanpa dikomando seisi kelas memecahkan tawa, termasuk Pak Firdaus yang tanpa basa-basi melepaskan hasrat kegeliannya begitu mendengar celetukan aneh dan demi melihat raut wajah Romeo yang mendadak tampak kaku, dan konyol. Gadissa melirik pada Romeo, tersenyum manis, sedikit memupus rasa malu yang sempat menggelayuti pemuda itu.

Romeo, Don't Cry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang