Bagian 14 : Perang Batin

5 0 0
                                    

HUH, panasnya, keluh Romeo sambil menyeka keringat di pelipisnya. Maklum, ia baru saja keluar dari sebuah Mal yang berpendingin ruangan, jadi wajar saja kegerahan dengan cepat menjalari tubuhnya ketika ia sudah berada di luar Mal SKA. Apalagi sinar matahari masih memancar terik di siang menjelang sore itu. Tapi kalau diusut, sebenarnya yang membuat keringatnya bercucuran adalah tangannya memegang erat sebuah tas kumal―uang tiga belas juta rupiah bersembunyi di dalam tas itu. Ia baru saja melakukan transaksi gila, berhasil menjual sejumlah paket narkoba.

Romeo melangkah tergesa-gesa menyeberangi jalan, memandang was-was ke arah pos polisi di perempatan jalan Sukarno-Hatta, dan menyeberang lagi. Lalu terus berjalan menyusuri jalan Tuanku Tambusai. Ia berhenti di halte, berdiri cemas dengan mata nyalang mencari angkot, terlihat ada sebuah angkot tapi berada cukup jauh dari halte. Ia enggan ke sana dan memutuskan menunggu angkot lain lewat di depan halte. Sial! Kenapa tak ada angkotnya yang lewat, gerutu batinnya.

Dan, hampir saja ia melompat melepas kaget ketika dengan tiba-tiba sebuah tepukan kasar menyentuh pundaknya. Ia membalikkan badan dengan dada berdebar kencang dan menemukan seorang remaja tanggung, berambut pirang seperti habis dilumuri karat besi luntur. Seutas rantai kecil tampak terhubung antara anting di telinganya ke anting di hidungnya. Tangan kanannya menempelkan pisau lipat kecil di pinggang Romeo.

"Sini uang, kau!" desis remaja tanggung bertampang beradalan itu. "Kau dengar, tidak! Sini uang kau cepat, ni pisau tak punya mata!" ancamnya sengit, semakin menekankan pisaunya di pinggang Romeo.

Penodong kecil ingusan! Rasa cemas, lapar, dan lelah dengan cepat memicu kekesalan Romeo sehingga menumpukkan kemarahan sampai ke ubun-ubun kepalanya. Sudut matanya mencuri pandang tajam ke arah pisau yang menempel di pinggang kirinya. Dan emosinya yang mau meledak akan segera tersalurkan.

Mau main-main denganku, ya? Ini kau coba dulu jurus kecepatan dan kesigapan tanganku! Secepat kilat tangan kirinya menepis pergelangan tangan penodong ke belakang―secara bersamaan meliukkan pinggangnya ke kanan―dan berhasil menjauhkan pisau hingga beberapa senti dari pinggangnya. Lalu, tak kalah cepat tangan kanannya menyambar untaian rantai yang terhubung antara hidung dan telinga si penodong, tanpa ampun merenggutnya. Walaupun ia tidak melakukannya sekuat tenaga, kontan saja hidung dan telinga tempat rantai itu melekat, agak terkoyak dan mengeluarkan darah.

Pisau di tangan penodong terlepas. Ia terpekik kesakitan sekuat-kuatnya. Tapi penderitaan si penodong kecil itu belum berakhir karena sebuah hantaman kilat ujung siku kanan Romeo mampir di hidung penodong malang itu, menyebabkan saos merah kental dengan cepat membanjiri hidung remaja tanggung itu.

Tanpa disadari Romeo, ternyata beberapa orang berwajah sangar sedari tadi memperhatikan aksi pertunjukannya dengan si penodong. Romeo tersentak ketika melihat dua orang segera berlari mendekatinya.

"Baaang, tolooong!" teriak si penodong―gagal―begitu melihat bala bantuan berlari ke arahnya.

Yaaah, cuma dua orang. Bolehlah. Darah Romeo sudah terlanjur panas, membuat hasrat berkelahinya naik lagi. Tapi begitu ia memperjelas pandangannya dan mulai menghitung, dua, tiga, empat... sebelas orang! Kacau, ini sih tak bisa dibuat main-main! Tanpa perlu berpikir lagi ia membalikkan badan. Lariii...

Pekikan riuh rendah bagaikan teriakan segerombolan orang Indian mau berperang itu membuat Romeo semakin menambah kecepatan berlarinya. Sesekali ia berlari zig-zag karena menghindari pejalan kaki yang berlalu-lalang di trotoar. Ia tidak memedulikan satu dua pejalan kaki yang mengumpatinya setelah disenggol atau terkejut karena hampir ditabraknya. Ia terus berlari hingga mencapai sebuah angkot―yang supirnya sedang asyik mengupil hidung dan mengorek-ngorek kupingnya pakai ujung korek api.

Romeo, Don't Cry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang