Bagian 10 : Bayangan Gelap

4 0 0
                                    

SETELAH melihat keadaan di sekelilingnya, buru-buru Romeo masuk ke rumahnya dan mengunci pintu. Ia langsung terhenyak di lantai dengan nafas turun naik. Kejadian barusan masih menghantui pikirannya, kejadian mengerikan yang hanya berjarak kurang dari lima ratus meter dari tempatnya berada saat ini. Otaknya mereka-reka siapa sebenarnya orang-orang sangar yang dihadapinya tadi. Sudah pasti orang-orang itu penjahat karena berniat membunuhnya untuk menyembunyikan perbuatan jahat mereka di rumah kosong itu. Tapi sekarang aku juga penjahat. Uh, baru saja memulai jadi penjahat, aku sudah dijahati orang. Mungkin, kejadian tadi karena murka Allah padaku karena pilihan bodohku untuk jadi pengedar narkoba, pikirnya cemas.

Kepalanya bergerak-gerak gelisah, membuat matanya menyadari ada ceceran darah di bahu kemejanya. Perasaan mual seketika menyodok perutnya, dan bayangan kengerian tentang mata kiri si tonggos yang tertancap ujung gagang payung, melintas lagi dibenaknya. Tak ingin berlama-lama memelihara bayangan mengerikan itu, ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Ia membuka kemejanya, dan merendamnya di dalam ember dengan air dan larutan deterjen.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, tangannya langsung merogoh saku celananya, dan ia lega, uang pemberian Roki masih ada di sakunya itu. Ia khawatir uang itu tercecer ketika ia bertarung dengan kedua penjahat tadi.

***

Malam harinya, udara yang terasa sangat pengap dan panas, memaksa Romeo berulangkali menggeliatkan tubuhnya yang basah oleh keringat. Kedua matanya terbuka lebar memandangi langit-langit kamar. Perasaan-perasaan yang tidak nyaman kembali memenuhi hatinya saat mengingat kejadian tadi siang. Peristiwa mengerikan itu masih enggan meninggalkan benaknya. Ia bangkit dan duduk di sisi ranjang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan yang sedari tadi tiada henti memberati kepalanya.

Astaghfirullah, Romeo tersentak, suara HP yang berbunyi nyaring seketika memecahkan dinding lamunannya. Sesaat ia hanya terdiam, menikmati sensasi kejutan yang sempat menguasai dirinya. Tak ingin terlalu lama mematungkan diri, segera diraihnya ponsel yang masih berbunyi itu. Uh, Bella.

"Ya, Bella, met malam," sapa Romeo sambil mengusap keringat di pelipisnya.

"Met malam juga, Rom," jawab suara bernada riang di seberang sana, tapi segera berubah terdengar merajuk. "Rom, Kamu kok nggak jadi ke rumahku. Kamu kan janji mau ke rumahku jam delapan. Ini kan udah hampir jam 10 malam. Kamu lupa, ya?"

Lagi-lagi Romeo tersentak. Tadi pagi di kampus―via pesan WA―ia memang berjanji akan datang ke rumah Bella untuk membahas skripsi yang sedang mereka susun. "Ohhh, maaf banget Bel, aku lupa," sahutnya sambil menepuk kening. "Aku... aku lagi nggak enak badan, nih. Maaf ya, aku benar-benar lupa."

Bella mendesah namun segera tertawa lembut. "Iya deh, kalo gitu, nggak apa-apa. Tapi, kapan-kapan, kamu sempatin datang ke rumahku, ya? Aku udah dapat buku-buku referensi untuk bahan skripsi kita. Kopian contoh-contoh skripsi yang kita perlukan juga udah ada. Aku ingin membahasnya sama kamu, Rom."

Sejenak Romeo terdiam mendengar aliran nada suara Bella, tapi saat itu malah sosok Gadissa yang melintas di pikirannya, mengalirkan ketenangan dan memupus hati yang gundah.

"Romeo???" tegur Bella.

"Ya... ya... Mmm, besok kamu ke kampus, kan?" Romeo mencoba menyamarkan kegugupannya.

Bella tertawa lembut lagi, "Ya, iyalah. Besok kan kita masuk mata kuliahnya Bu Yusra. Aku pengen dapat nilai lebih bagus. Nggak hanya sekadar dapat nilai B kayak semester lalu."

"Bagus deh," kata Romeo. "Ka...kalau gitu besok aja kita bicara di kampus," lanjutnya, walaupun ia sadar bahwa besok mungkin saja ia tak bisa ke kampus, mengingat aktivitas barunya sebagai anggota geng dan pengedar narkoba.

Romeo, Don't Cry Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang