KEESOKAN harinya, di dalam bus kota―yang meluncur di Jalan Jenderal Sudirman, menuju kampus untuk kuliah siang―Romeo tersenyum sendiri ketika mengingat nasi goreng spesial yang dibuatkan Bella untuknya malah ikut dinikmati oleh kucing. Tapi seketika ia menarik senyum begitu pandangan matanya―yang tanpa sengaja keluar dari jendela bus―melihat mobil Honda Jazz putih dipepet dan didesak oleh mobil Toyota Hilux hitam ke halaman luar kompleks purna MTQ. Gadissa, pikirnya. Ia ingat betul ciri-ciri detail mobil gadis itu walau hanya dengan melihat sekilas, dan hatinya seketika dirayapi perasaan tidak nyaman.
"Stop Bang!" teriaknya. "Berhenti!!!" ulangnya lebih keras ketika bus masih terus melaju dan melewati kompleks purna MTQ.
Bus langsung berhenti dengan suara mendecit tajam diiringi gerutuan marah puluhan penumpangnya yang terlonjak kaget, sebagian besar mahasiswa. "Gila kau!!!" umpat si supir bus ketika Romeo―yang pikirannya dipenuhi kekhawatiran terhadap Gadissa―melompat turun dari bus. Bus melaju lagi.
Romeo berlari secepat yang ia bisa menuju kompleks purna MTQ yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat ia diturunkan bus tadi. Nalurinya mengatakan bahwa Gadissa dalam bahaya. Tubuh jangkung atletisnya semakin kencang berlari ketika dari jarak sekitar 50 meter, ia melihat Gadissa sedang ditarik paksa keluar dari mobilnya oleh dua orang bertopeng. Kurang ajar kalian. Awas, jangan sampai kulitnya tergores sedikitpun! Ternyata serpihan-serpihan cinta yang hancur itu masih tersisa di hatinya.
"Woi, lepaskan Dissa!!!" sergah Romeo, ia berdiri garang sambil mengatur pernafasannya.
Dua orang yang sedang menarik-narik Gadissa―yang bertahan sekuat tenaga dengan memegangi pintu mobilnya―seketika menghentikan aksinya.
Gadissa langsung berteriak. "Romeo, tolong!" wajahnya yang putih bersih semakin memutih karena pucat pasi, airmatanya bercucuran, mengekspresikan ketakutan yang amat sangat.
"Jangan ikut campur kau anak ingusan!" teriak orang bertopeng yang memakai jaket hijau.
Temannya, orang bertopeng kedua, berkaos hitam ikut menggertak. "Cepat pergi dari sini kalau kau sayang nyawamu!"
Romeo mana peduli. Ia tak mau membuang waktu hanya berperang mulut dengan kedua penjahat itu. Ia langsung mendekat, pasang kuda-kuda, bersiap menyerang, dan siap mempraktekkan satu dua jurus sederhana yang pernah diajarkan almarhum ayahnya ketika ia berusia dua belas tahun―dan masih sering dilatihnya hingga saat ini, minimal dua kali seminggu sehabis sholat subuh.
"Cari mampus nih bocah!" orang bertopeng berkaos hitam habis kesabarannya melihat gerakan intimidatif Romeo. Ia melepaskan Gadissa dan melompat ke arah Romeo.
Romeo yang memang diliputi kegeraman namun tetap waspada langsung menyambut lawan dengan pukulan tangan kiri lurus ke arah muka. Orang bertopeng berkaos hitam itu hanya mendengus remeh sambil mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis. Tapi ia terkecoh karena pukulan Romeo tadi hanya tipuan, sebab ia menggantung pukulannya, dan tiba-tiba saja Romeo sudah menerjang dengan dua serangan kembar yang cepat, berupa sodokan lutut menghantam telak dada lawan dan pukulan tangan kanan menyambar keras rahang lawan.
"Argh," Pria berkaos hitam itu mengeluh singkat, pandangannya langsung mengelam ketika ia terhempas ke aspal dengan tubuh berlipat karena menahan sakit dan sesak di dada serta rasa ngilu yang menggigit di rahang. Sesaat ia tak mampu bergerak, hampir semaput.
"Payah, sia-sia aku membayarnya. Dasar anak buah cemen!" umpat seseorang yang sedang mendekam di dalam Toyota Hilux hitam.
Tak kusangka hanya sekali gebrak, heran Romeo sekaligus lega. "Hei banci bertopeng, sekarang giliran kau!" ia sengaja menyulut emosi lawan supaya orang itu melalaikan Gadissa yang masih dipegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo, Don't Cry
Fiksi UmumSetelah kehilangan pekerjaan karena toko tempatnya bekerja bangkrut, Romeo mengalami kesulitan keuangan sehingga ia terpaksa bergabung dengan geng Vokand, sekaligus menjadi pengedar narkoba. Romeo bahkan diangkat menjadi wakil ketua geng oleh Roki...