SAAT jeda kuliah, Romeo menyempatkan diri nongkrong di kantin kampus, dikelilingi keempat sohib-sohib kentalnya. Aksi keringatnya yang bercucuran deras ketika jam kuliah berlangsung tadi memancing minat teman-temannya untuk mencari penyebabnya.
"Rom, tadi kau jalan kaki ya, dari rumah ke kampus? Kok bisa mendadak keringatan gitu?" tanya Edo memulai penyelidikan sambil mencomot bakwan.
"Atau jangan-jangan kau kesambet jin kesiangan, Rom. Mungkin jin itu lupa jalan pulang abis begadang semalaman, karena takut sama sinar matahari, trus ngumpet dulu dalam badanmu," tambah Bona berlagak sok tahu tentang hal-hal yang berbau mistis.
Randi mendengus. "Kalian berdua itu ngaco! Yang benar itu, Romeo keringatan karena menyesal tak menyapa Dissa pas masuk ruang kuliah tadi. Makanya, Rom, perasaan jangan terlalu lama diperam di hati, keringatan tuh jadinya."
"Sotoy lu!" sentak Romeo kesal.
Dahi Momoy berkerut. "Eh, Rom, perasaan toko bangunan bapaknya Randi jualan material, bukan sate," tuturnya kalem dengan raut wajah tanpa dosa. Lalu pandangannya beralih ke Randi. "Tapi apa benar, Ran? Kalau kita suka ngeram perasaan bisa keringatan juga, ya? Tapi..." ia berhenti sejenak, telunjuknya sibuk mengetuk-ngetuk pelipisnya, berlagak mengingat sesuatu. "Ayamku yang sudah berhari-hari ngeramin telurnya, tak pernah keringatan, tuh," lanjutnya.
Arrrggghhh... Romeo dan teman-teman hanya bisa menggeram dan mengelus dada mendengar ucapan polos si Momoy. Dan memandangi cowok bersetelan cupu itu dengan pandangan iba. "Kasian kau, Moy. O'onmu tak sembuh-sembuh juga. Jangan salahkan Bunda mengandung, Moy. Tapi salahkanlah mengapa kau betah sekali memelihara penyakit telmi-mu itu."
Akhirnya mereka semua seperti sepakat membisu bareng, daripada terus bicara tak karuan mendingan mengisi perut, mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kuliah siang.
"Tapi sejak kapan Dissa berbusana muslimah?" tanya Romeo tiba-tiba.
"Sudah seminggu, Rom," sahut Randi.
"Lagian kamu kemana aja? Sampai seminggu nggak muncul di kampus," sambung Bona.
Romeo tak menyahut, hatinya perih lagi. Aku sibuk berbisnis haram. Melakukan transaksi narkoba dan bertempur mempertahankan daerah kekuasaan geng.
Melihat Romeo diam, keempat temannya juga enggan bersuara lagi. Tapi aksi diam mereka dikejutkan oleh suara ribut-ribut di seberang meja.
"Heh, pake mata kalo jalan! Main tabrak aja. Gue beri sekali bonyok, lo!" seorang mahasiswa berkaos hitam bergambar tengkorak bergigi ompong, dengan arogan memaki-maki seorang mahasiswa lainnya―cowok dengan kacamata minus tebal yang baru saja ketiban sial karena menyenggol bahu si pemaki.
"Maaf, Bang, tak sengaja. Abis Abang sih, duduknya terlalu ke pinggir," protes yang dimaki dengan raut wajah tanpa dosa.
Si pemaki langsung berdiri dengan tangan terkepal. "Eeeeh, melawan lagi!" geramnya.
Membuat yang kena maki langsung mengkerut begitu melihat delikan tajam dan geraman si pemaki.
"Sudahlah, Brol, biarin aja. Kasian tuh cowok cupu," temannya berusaha menenangkan dan menarik si pemaki itu duduk kembali.
Mahasiswa yang bergelar Brol itu duduk dengan enggan, pandangan matanya yang seperti hendak menelan orang masih menghujam tajam ke Mahasiswa cupu yang barusan dimaki-makinya. "Eh, lo mau cari masalah sama gue. Lo tau nggak gue anak fakultas mana?!"
Si mahasiswa cupu yang sedang digertak itu diam saja dengan wajah pucat, mulut separuh ternganga dan kedua lutut gemetaran.
"Tak ada anak fakultas lain di kampus ini yang berani cari masalah sama anak-anak fakultas gue! Mau, gue lipat-lipat badan lo!" bentak Brol lagi. Ternyata ia termasuk orang yang suka mengumbar kemarahan. Tapi ngomong-ngomong soal umbar-mengumbar kemarahan, ada yang kecipratan emosi, tuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo, Don't Cry
قصص عامةSetelah kehilangan pekerjaan karena toko tempatnya bekerja bangkrut, Romeo mengalami kesulitan keuangan sehingga ia terpaksa bergabung dengan geng Vokand, sekaligus menjadi pengedar narkoba. Romeo bahkan diangkat menjadi wakil ketua geng oleh Roki...