MENJELANG Asyar Romeo duduk di teras rumah Roki. Sesekali ia menguap panjang, menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tengkuknya untuk mengusir kantuk yang sedari tadi merayu matanya untuk terlelap, pasti karena keterusan begadanglah penyebabnya. Di sampingnya, Roki dan Joni asyik bermain kartu remi, tak mampu menarik minatnya untuk ikut menggabungkan diri walaupun berkali-kali kedua temannya itu mengajaknya ikut bermain.
Suara azan yang berkumandang dari Masjid yang terletak kira-kira 200 meter dari rumah itu membuat Romeo bangkit dari duduk.
"Mau kemana, Rom?" tanya Roki tanpa melepaskan pandangannya dari lembaran-lembaran kartu remi di tangannya.
"Sholat," jawab Romeo singkat dan segera masuk ke dalam rumah. Sekilas sempat diperhatikannya Roki terdiam, termenung dengan raut wajah seakan sedang menahan beban berat. Memang, setiap kali melihat ia akan sholat Roki selalu menampakkan ekspresi seperti itu, entah apa penyebabnya. Penasaran, ia perhatikan lagi Roki dari pintu yang sedikit terbuka, pemuda itu masih dalam posisi duduk terdiam dengan pandangan kosong.
"Bang, giliran Abang," tegur Joni.
Roki terbangun dari lamunan singkatnya, setelah menghela nafas ia melanjutkan permainannya lagi. "Oh, ya, nih!" sahutnya seraya melemparkan satu kartunya ke lantai. Mereka berdua kembali tenggelam dalam permainan, berulang kali mengeluarkan gerutuan dan terkadang bersorak gembira, asyik.
Bang Roki, pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti itu, tapi... entahlah. Ups, tadi kan niatku mau sholat, bergegas Romeo melanjutkan langkahnya menuju ke ruang belakang.
***
"Gimana sholatnya, Rom?" tanya Roki ketika Romeo sudah kembali bergabung dengan mereka.
"Biasa," sahut Romeo pendek, tersenyum kecut seraya menyandarkan punggungnya ke dinding rumah. Seharusnya sholat membuatku tenang, tapi mengapa aku malah gelisah mendengar pertanyaan Bang Roki, pikirnya gusar.
Sisi batinnya yang lain langsung menjawab, Apa kau sadar, sholat seperti apa yang barusan kaulakukan. Bibir dan lidahmu dengan lancar melafalkan bacaan dalam sholat, tapi pikiranmu melayang mengingat perbuatanmu di luar sholat!
Ya, aku tau! Aku sholat karena mematuhi perintah Rabb-ku, tapi setelah itu aku juga melakukan hasutan setan. Astaghfirullah... Aku bosan menjalani peran ganda ini.
"Sudahlah, aku bosan," Roki tiba-tiba melemparkan semua kartu di tangannya ke lantai. Lalu ikut menyandarkan punggungnya ke dinding. "Rom, kau beruntung masih bisa sholat, masih mampu mendirikannya," ia mengarahkan pandangannya menatap jauh ke langit biru. "Terakhir kali aku melakukan sholat dua belas tahun yang lalu. Ughhh," keluhnya sembari mengusap dadanya berulang-ulang, sebelah tangannya malah menjambak rambutnya yang lebat. "Dua belas tahun yang lalu aku masih sholat, Rom," ulangnya lagi, sangat lirih.
Terkejut, Romeo menoleh kepada Roki―sang preman besar dan ketua gengster―yang masih mengurut-ngurut dadanya. Sedangkan Joni sejenak menghentikan kesibukannya mengumpulkan kartu-kartu remi yang berserakan di lantai, juga ikut menoleh kepada Roki dengan ekspresi tidak percaya.
"Maaf, Abang bisa sholat?" tanya Romeo dengan nada hati-hati, penasaran, tapi tak ingin mengajukan pertanyaan yang salah.
Roki menghela napas panjang, pancaran kesedihan tergurat jelas di wajahnya. "Ya... Dulu, aku selalu senang ketika belajar di Madrasah, bahkan aku belajar sampai tamat di sana waktu aku masih kelas lima SD. Sering aku ikut lomba mengaji walaupun tak pernah menang, tapi aku senang, sama senangnya ketika Ustadz menyuruhku azan di Musholla. Tapi itu dulu, sudah lama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo, Don't Cry
General FictionSetelah kehilangan pekerjaan karena toko tempatnya bekerja bangkrut, Romeo mengalami kesulitan keuangan sehingga ia terpaksa bergabung dengan geng Vokand, sekaligus menjadi pengedar narkoba. Romeo bahkan diangkat menjadi wakil ketua geng oleh Roki...