Pukul sembilan malam aku masih di kantor setia menatap layar. Biasanya paling mentok aku lembur cuma sampai jam delapan saja. Ini gara-gara aku dilibatkan masuk tim buat menyeleksi lomba menulis yang hasilnya harus diumumkan besok makanya jam segini aku masih beredar di kantor. Berlanjut nonton serial drama yang tadinya niat cuma pengin lihat sebentar malah berujung keterusan.
Meja Argo kelihatan rapi pertanda pemiliknya sudah pergi. Padahal, tadi aku masih melihatnya mondar-mandir saat kami rapat. Waktu aku nonton drama pun dia masih kelihatan. Walaupun Argo tidak termasuk dalam tim lomba, tapi dia tidak boleh pulang sebelum rapat selesai. Mas Genta menyuruhnya bikin kopi sama beliin makanan. Kan sudah ada OB, tapi tetap saja Argo yang jadi sasaran. Dia juga tidak membantah, malah mau-mau saja. Di situ aku geregetan banget sama Argo.
Sampai saat ini aku masih menanti Argo mendekatiku, membagi perasaannya padaku, seperti orang-orang yang kukenal pernah mendapatkan tekanan sosial. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Sejak usia sekolah hingga kini menginjak angka dua puluh enam, aku sering didatangi orang-orang yang membutuhkan tempat berbagi perasaan dan tempat bersandar dari segala kegundahan.
Aku terbiasa melihat orang menangis dan bersedih di depanku. Aku tidak tega melihat penderitaan mereka. Bahkan, kedekatan emosional yang terjalin membuatku pernah berkencan dengan salah satu korban perundungan.
Waktu itu aku berhasil menumbuhkan kepercayaan diri, meyakinkan dia untuk melawan rasa takut, sampai akhirnya dia percaya padaku lantas menawarkan hubungan lebih lanjut. Kupikir, aku juga bisa melakukan hal yang sama terhadap Argo. Minimal, membuatnya berani melawan tindakan menyakiti yang mengarah kepadanya.
Tapi, hingga detik ini tidak ada tanda-tanda Argo mendekatiku. Kuperhatikan setiap gelagat dan reaksinya saat dijadikan bulan-bulanan berharap setelah itu dia mendatangiku. Mengadu. Kenyataannya, wajahnya langsung berpaling setiap kuajak bertatap muka.
Aku masih celingukan sebelum menekan tombol lift. Barangkali menemukan Argo berkeliaran di sekitar sini. Aku tahu, dia pasti pulang paling akhir. Memastikan semua orang pergi, baru dia menyusul pulang.
"Lho, kamu belum pulang, Nir?" sapa Mas Didas.
Aku terlonjak. Perasaan tadi sepi, orang ini muncul dari mana, ya?
"Astaga, Mas. Ngagetin aja," seruku agak kesal karena Mas Didas muncul tepat di saat aku sedang serius-seriusnya melamunkan keadaan sekitar.
Mas Didas memandangku heran. "Kamu ngapain?"
"Lhah, saya kan ikut meeting penjurian lomba nulis fantasi. Mas juga belum pulang," ucapku sambil menenangkan keterkejutanku sendiri.
"Oh. Kalau saya memang sengaja pulang larut."
Mengatur napas satu-satu, aku beneran syok akan kehadiran sesama makhluk hidup di saat suasana sepi begini. Kukira siapa, ternyata hanya Mas Didas dan itu berarti aku bakalan terjebak satu lift berdua sama dia. Duh, males. Melirik kanan-kiri, aku mencari inspirasi untuk menghindari situasi.
"Mas Didas duluan aja. Saya mau ke toilet dulu."
"Saya tungguin, ya. Soalnya kalau malam hantunya suka muncul."
Aku tertawa nyinyir. "Nggak usah."
"Emangnya kamu berani?"
Tanganku mengibas di udara. "Santai aja, menghadapi pahitnya kenyataan hidup aja saya berani apalagi cuma menghadapi hantu di malam hari."
Dibalas Mas Didas dengan sedikit senyuman tipis. "Bagus. Berarti besok kamu harus lebih siap menghadapi kenyataan hidup yang lebih pahit karena saya punya tugas baru buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ready To Love You [Terbit]
Romance[Pemenang Wattys 2019 Kategori Romansa] Pramesa Nirandana tidak mengenal Argo Dewangkara sepenuhnya meskipun mereka bekerja di dalam satu ruangan yang sama. Perlakuan tidak menyenangkan yang kerap dialami Argo, mengundang simpati Nira. Sebuah misi d...