23. Realisasi

29.5K 4.5K 217
                                    

Kangen nggak?



Empat kantung keripik kentang dan sekotak jamur crispy kumasukkan ke dalam paper bag. Aku hanya kebagian membawa makanan ringan. Untuk minuman dan makanan utama sudah ditangani oleh Argo. Aku akan menjalani akhir pekan bersama Argo dan kedua adiknya. Rencanaku baru terealisasi sekarang mengajak mereka tamasya. Mungkin tempat wisata tujuan kami terdengar remeh, tapi aku tidak mempermasalahkan. Yang penting aku bisa pergi dan menikmati kebersamaa dengan mereka.

"Ini jeruknya nggak dibawa?" tanya ayah menunjuk satu keranjang jeruk yang tergeletak di dalam kulkas.

"Nggak, Yah. Ini aja udah banyak banget," jawabku.

"Bawa aja jeruknya. Ini juga banyak banget, siapa yang mau makan? Ayah udah kenyang."

Iya, sih. Kemarin aku belinya kebanyakan soalnya di supermarket jeruknya kena diskon. Biasanya cuma beli satu kilo, gara-gara diskon kubeli saja tiga kilo. Kukira sekalian buat stok beberapa hari ke depan. Ternyata ayah hanya makan dua biji. Paling ayah sudah bosan, tapi kan itu buah kesukaannya. Masa bisa bosan, sih.

"Daripada busuk."

"Kan ditaruh di kulkas," sanggahku.

"Ditaruh di kulkas tapi nggak ada yang makan ya sama aja, Nir."

"Iya, iya."

Aku mengeluarkan keranjang dari kulkas, memasukkan semua jeruk ke dalam tas plastik. Jadi banyak banget, kan. Gimana cara bawanya, nih? Padahal nanti aku sama Argo dan adik-adiknya mau naik angkutan umum.

"Ayah belum pernah ngobrol sama Argo," ucap ayah saat aku terpana memandang banyaknya makanan yang akan kubawa.

"Kapan-kapan ajak ke rumah," lanjut ayah. Sontak aku menoleh.

"Ayah mau ngobrol sama Argo?" seruku.

Dadaku membuncah mendengarnya. Tidak biasanya ayah tertarik ingin bercakap-cakap dengan teman pria yang sedang dekat denganku. Bahkan sampai memintaku mengajaknya ke rumah. Jika dulu ayah selalu melarangku, maksudnya membatasi pergaulanku dengan lawan jenis akibat ulahku sendiri. Sekarang ayah mulai terbuka dengan teman-teman priaku. Eh, tapi Argo kan bukan temanku, dia pacarku.

"Iya."

"Makasih, Ayah."

Aku memeluk ayah yang duduk di kursi. Aku tidak akan mengecewakan pria yang paling berjasa dalam kehidupanku ini. Pria yang senantiasa menaungi, memeluk, dan mencintai di saat tak ada harapan lagi. Seperti halnya Mas Navin, ayah tidak pernah pergi. Padahal aku sudah menggoreskan aib paling memalukan sebagai seorang wanita. Aku merasa Tuhan sedang mengarahkanku kepada kesempatan kedua. Makanya, aku harus mengelolanya sebaik mungkin.

"Hati-hati. Bagaimana pun Argo juga laki-laki," ujar ayah seraya mengecup ubun-ubunku.

"Iya, iya. Tentu saja Argo laki-laki. Siapa yang bilang dia banci," sahutku geli.

"Laki-laki yang punya naluri alami. Makanya kamu harus hati-hati, nggak usah banyak tingkah. Mentang-mentang Ayah nggak bisa jalan sempurna bukan berarti kamu bisa seenaknya. Kamu masih jadi tanggung jawab Ayah."

Kupeluk ayah sekali lagi. Aku jongkok di sampingnya.

"Nira percaya sama Argo, Yah. Argo bisa jagain Nira, kok. Argo baik nggak kayak yang lain."

"Jadi, Ayah udah gagal jagain kamu, ya? Oke, sekarang Ayah punya saingan. Kita lihat saja nanti," gumam ayah.

"Nggak gitu juga. Ayah nggak gagal, Niranya aja yang salah melangkah," ucapku memeluk ayah lebih erat.

Ready To Love You [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang