Ponselku berdenting nyaring. Mematikan kompor buru-buru, aku berlari ke kamar. Saat di rumah, aku sengaja mengatur volume ponsel paling maksimal. Hanya untuk menyiasati saja misalnya ada panggilan penting supaya aku dapat menjamah ponselku lebih cepat. Soalnya, kalau sudah di rumah itu kegiatanku serabutan.
Aku bersorak membaca nama yang terpancar dari layar.
"Halo, Mas Navin."
"Salamnya mana, Nir?" sahut suara bariton dari seberang.
"Assalamualaikum, Mas Navin."
"Waalaikumsalam. Besok sore lo bisa jemput gue di stasiun Senen nggak?"
"Bisa." Aku mengangguk mantap. "Mas Navin jam berapa sampai Senen?"
"Jam empat."
"Nungguin gue nggak papa? Jam segitu barusan kelar kerja gue, Mas. Belum lagi kalau lembur, tapi gue usahain nggak lembur deh, Mas."
Hanya terdengar deheman kecil. Kayaknya Mas Navin tidak bakal mau. Dia orangnya paling benci disuruh nunggu. Pernah suatu kali aku diminta jemput Mas Navin di bandara Halim. Hujan deras menghambat perjalanan, membuatku terlambat satu jam. Sesampainya di sana, aku membuka pesan yang mampir di ponsel. Pesan dari Mas Navin, dia memberitahu kalau sudah dalam perjalanan pulang menggunakan taksi bandara. Kesel banget tahu ditinggalin kayak gitu. Sudah basah-basahan, kedinginan, rasanya pengin nangis perjuanganku tidak dihargai.
"Oke, gue tungguin."
"Beneran lho, Mas. Jangan ditinggalin lagi. Lo parah sih ninggalin gue, nggak pamitan kayak ninggalin gebetan kepergok selingkuh aja."
Mas Navin tertawa. "Beneran, Kunir. Gue tungguin."
"Janji?"
"Janji, Kunir. Dasar bocah bau kencur lo. Yaudah, ntar gue hubungin lagi. Lo hati-hati. Salam buat Ayah."
Sesudah mengucapkan salam, aku memutus panggilan. Kunir, cuma Mas Navin yang memanggilku begitu. Awalnya kesal, tapi lama-lama terbiasa juga. Aku pernah protes kenapa dia tidak memanggilku dengan nama julukan yang lebih bagus. Mas Navin tetap bersikeras memanggilku 'Kunir' ketimbang Nira. Aku sampai mendiamkannya tiga hari gara-gara dia panggil aku kayak gitu. Aku kesal. Namun, akhirnya aku sadar satu hal. Walaupun Mas Navin menyebalkan, aku tahu panggilan 'Kunir' itu adalah salah satu wujud kasih sayangnya sama aku.
Intensitas pertemuanku dengan Mas Navin sangat sedikit. Pekerjaan sebagai fotografer satwa liar menuntutnya beraktivitas di luar kota hingga pelosok negeri pertiwi. Dia juga menjadi kontributor majalah National Geographic Indonesia, memungkinkan Mas Navin memotret objek variatif selain satwa liar. Kesempatan Mas Navin ada di rumah itu langka banget. Apalagi tahun depan Mas Navin berencana pergi ke Afrika. Astaga, bakal tidak ketemu rumah berbulan-bulan itu.
"Nira."
Seruan ayah membawaku tersadar dari lamunan. Aku bergegas kembali ke dapur. Melanjutkan menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Sejak orang tuaku memutuskan berpisah sepuluh tahun silam, aku dan Mas Navin tinggal bersama ayah. Ibu ikut dengan suami barunya, menetap di Malaysia.
Beberapa bulan pasca berpisah, sebelum pindah ke Malaysia, ibu masih sering menghubungi kami. Kadang-kadang datang ke rumah, membawa kue bolu kesukaanku yang diracik sendiri dari tangannya. Namun belakangan, kami tak pernah lagi bertukar kabar. Aku kesusahan mencari jejak ibuku sendiri.
"Bikinin Ayah kopi jahe, ya," pinta ayah, duduk di kursi rotan menghadap televisi. Mencari saluran televisi yang menayangkan acara siaran berita.
"Ayah kan udah minum dua gelas. Kalau kebanyakan ngopi nanti Ayah nggak bisa tidur lagi. Kayak kemarin, gara-gara Ayah kebanyakan ngopi bukannya istirahat malah jadi begadang," omelku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ready To Love You [Terbit]
Romance[Pemenang Wattys 2019 Kategori Romansa] Pramesa Nirandana tidak mengenal Argo Dewangkara sepenuhnya meskipun mereka bekerja di dalam satu ruangan yang sama. Perlakuan tidak menyenangkan yang kerap dialami Argo, mengundang simpati Nira. Sebuah misi d...