Konsentrasiku terpecah saat kudengar suara ramai dari meja seberang. Kulihat orang-orang menertawakan Argo, pria kurus berkacamata yang memuntahkan minuman kopi hingga membasahi separuh mejanya. Bahkan, bercak hitam bekas ampas kopi menghiasi layar komputer akibat semburannya. Seseorang berseloroh, ternyata ada yang menukar kopi milik Argo. Menggantinya dengan kopi yang sudah dicampur dengan sepuluh sendok bon cabe saat pria itu pergi ke toilet.
Bukannya melawan, Argo tetap merapatkan mulutnya. Tidak berbuat apa-apa. Hanya membersihkan meja dan layar komputernya menggunakan tisu yang dia simpan di laci. Tidak ada perlawanan dari pria itu membuat tawa semakin riuh. Mas Genta, pria paling senior dari divisi fiksi saja langsung memanfaatkan situasi. Dia melontarkan lelucon tidak pantas yang berkaitan dengan penampilan Argo sambil mendorong lengan Argo hingga punggungnya membentur tembok.
Kedua tanganku mengepal memandang adegan tidak manusiawi itu. Aku heran, kenapa semua orang menjadikan Argo pelampiasan atas segala hal yang tidak seharusnya. Padahal Argo bersikap biasa dan tidak pernah bertindak di luar ketentuan. Dia hanya bekerja selayaknya karyawan biasa, tapi beban kerjanya cenderung berbeda dari job desk yang seharusnya.
Ruangan kerja di kantorku memang tidak dibuat bersekat, termasuk ruangan divisi fiksi yang aku tempati ini. Memungkinkan aku dapat leluasa mengamati aktivitas teman-temanku. Kebetulan mejaku berada tepat di depan meja Argo, pria yang sering dijadikan pelampiasan dari segala permasalahan. Aku hendak beranjak, tapi Tiara menahan tanganku. Dia menggeleng.
"Nggak usah ikut campur urusan orang, Nir," ucap Tiara setengah berbisik.
"Tapi dia nggak bisa digituin terus-terusan, Ra. Emangnya dia salah apa, sih?" balasku kesal.
"Tiap orang punya masalah masing-masing dan lo nggak harus ikutan nimbrung masalah mereka. Yang penting lo nggak pernah ikutan nyiksa Argo aja, kan. Udah deh, mendingan selesein kerjaan lo daripada lo ngurusin manusia ceking itu. Lo nggak mau diomelin Mas Didas gara-gara telat upload cerita kayak kemarin, kan?"
Aku menggeleng. Kembali menggeser pandangan ke layar komputer. Mataku tidak bisa fokus sepenuhnya. Tetap mencuri pandang ke depan, memerhatikan gerak-gerik Argo yang masih sibuk membersihkan mejanya dari tumpahan kopi. Namun, ingatan akan omelan Mas Didas saat meeting pagi kemarin membuatku meningkatkan produktivitas kerja lagi.
Kuakui aku melakukan kesalahan atas naskah yang aku tangani. Terlambat mengunggah bagian cerita yang seharusnya diunggah sesuai jadwal ternyata berakibat fatal. Sebagai editor in chief, Mas Didas menegurku habis-habisan. Padahal baru satu kali aku khilaf dari pekerjaan. Aku baru tahu kenapa Mas Didas bersikap begitu. Ternyata naskah yang aku tangani termasuk jajaran cerita paling banyak peminatnya di aplikasi MyStory.
Aku bekerja di MyStory, sebuah perusahaan penerbitan digital yang sedang berkembang. Bukan penerbitan digital biasa. Cerita fiksi, non fiksi dan cerita berbasis gambar tersedia di sini. Baru satu tahun aku bergabung di perusahaan ini. Kebiasaanku menulis artikel di media massa dan pernah menetaskan sebelas novel membuatku dipertimbangkan bergabung di MyStory.
"Makan apa kita siang ini?" tanya Tiara sambil melakukan gerakan peregangan otot ringan.
Saking asyiknya menyisiri kata demi kata layar komputer, aku tidak menyadari rupanya jam makan siang sudah menghampiri.
"Bentar, Ra. Gue balesin chat penulis dulu."
Meskipun berbasis penerbitan digital, tapi menghubungi penulis bila ada revisi naskah harus tetap disampaikan. MyStory tidak langsung mengunggah cerita yang sudah diedit melalui meja redaksi tanpa komunikasi kepada penulis terlebih dahulu. Sebab, bagaimana pun penulis berhak tahu letak perubahan maupun kesalahan penulisan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ready To Love You [Terbit]
Roman d'amour[Pemenang Wattys 2019 Kategori Romansa] Pramesa Nirandana tidak mengenal Argo Dewangkara sepenuhnya meskipun mereka bekerja di dalam satu ruangan yang sama. Perlakuan tidak menyenangkan yang kerap dialami Argo, mengundang simpati Nira. Sebuah misi d...