11. Alamat Palsu

32.2K 5.3K 236
                                    


 "Lho, Nira?"

Aku nyengir. Sialan, Tiara. Tega banget ngerjain aku. Maksudnya apa malah aku dikasih alamat rumahnya Mas Didas. Masa iya aku harus tanya sama dia? Tiara kebangetan memberiku alamat palsu. Aku akan minta pertanggungjawaban Tiara karena sengaja mempermalukanku. Sudah tidak ada alibi buat berkutik, terpaksa kupasang senyuman paling menarik.

"Ayo masuk, Nir. Di luar dingin," ajak Mas Didas, memberiku akses memasuki rumah yang aku tidak tahu sebenarnya ini rumah siapa.

Tidak enak mau menyanggah, aku mengikuti langkah Mas Didas. Aku uduk di sofa, memikirkan alasan paling masuk akal kalau ditanya ngapain malam-malam berkunjung ke rumahnya. Ralat, tidak sengaja bertamu ke rumahnya. Biarlah, sudah telanjur basah. Tapi kan mukaku mau ditaruh di mana?

"Apa yang bikin kamu berinisiatif mengunjungi rumah saya? Coba kamu bilangnya lebih awal. Saya bisa nyiapain banyak hal buat menyambut kamu." Mas Didas berkata sambil memandangku geli.

"Saya kesasar, Mas. Dari awal nggak ada niat mau bertamu ke rumah Mas Didas. Saya lagi nyari alamat rumah eh, ternyata alamatnya palsu," sahutku mendengus pelan.

Iya, memang aku tidak punya niat mendatangi rumah Mas Didas. Belum tentu juga rumah yang kudatangi ini miliknya. Bisa jadi dia cuma ngaku-ngaku doang. Aku tidak tahu sedang terdampar di mana. Sepertinya ada yang salah dengan list data karyawan perusahaan. Pikiran positif yang paling memungkinkan adalah alamat rumah Mas Didas tertukar dengan alamat rumah Argo. Oh, apakah ini yang dimaksud kisah alamat yang tertukar?

"Emangnya kamu nyari rumahnya siapa?"

Kalimatnya berintonasi tegas, tidak bertele-tele, dan tidak mau diganggu gugat. Persis seperti caranya di kantor ketika memimpin rapat. Kalau bicaranya sudah bernada begini biasanya aku segera merapatkan mulut. Tidak ada komentar. Salah ngomong nantinya malah aku dijadiin sasaran.

"Maaf kalau saya mengganggu istirahatnya Mas. Sepertinya saya mau pulang aja. Eh, tapi tumben lho jam segini Mas Didas udah sampai rumah. Biasanya masih molor di kantor, kan?" kataku berusaha menjaga suasana serileks mungkin.

Menghadapi Mas Didas seperti sedang menjalani proses interview user sebagai tahapan seleksi akhir paling mendebarkan sebelum tes kesehatan. Bermacam pertanyaan jebakan mendominasi setiap percakapan.

"Karena hari ini nggak biasa makanya saya udah pulang. Kamu nyari rumah Argo, ya?"

Mau tidak mau aku pun mengaku. "Iya. Apakah Argo tinggal di sini, Mas?"

Telingaku menangkap Sial. Rintikan gerimis di luar sana mempercepat volumenya. Risiko berkendara di tengah hujan lebat begini tidak akan aku korbankan. Aku harus menerima takdir untuk berteduh di sini. Setidaknya hingga intensitas curah hujan berkurang.

"Kamu mau minum apa? Sekalian makan mau, ya? Kebetulan Mama saya masak banyak makanan hari ini." Mas Didas bangkit dari sofa.

"Nggak usah repot-repot, Mas. Saya nggak lama, kok," elakku.

"Kamu lagi cari tahu tentang Argo, kan?"

Aku mengangguk.

"Kita makan dulu. Nanti saya kasih tahu."

Sebenarnya aku tidak harus mengikuti permintaan Mas Didas. Kalau aku makan di sini, siapa yang nyiapin makan malam buat ayah dan Mas Navin? Tadi pagi aku sudah masak sayur lodeh dan tumis tempe kering. Sekalian bisa diangetin buat malam malam. Ayah, sih, tidak rewel. Tapi Mas Navin kan tidak suka makanan lama. Dia maunya makanan fresh. Biarin, deh. Dia sudah gede, bisa cari makanan sendiri. Masa maunya dimanjain melulu.

Kukira aku hanya makan berdua saja sama Mas Didas. Begitu sampai di ruang makan, ternyata keluarga besar Mas Didas telah berkumpul di sana. Ya ampun, tentu saja aku syok. Tersenyum kikuk, aku mengangguk kepada seorang wanita berambut perak yang duduk di ujung kanan meja. Wanita yang kuduga adalah mama Mas Didas. Di sampingnya duduk pria seusia ayah dan seorang laki-laki perkiraan usianya lebih muda daripada Mas Didas. Ketika berbaur duduk bersama mereka, aku bersyukur tidak dihujani pertanyaan-pertanyaan mneyudutkan.

Ready To Love You [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang