Hari-hari berikutnya aku selalu pulang kantor paling akhir. Mengalih bahasa novel impor ternyata tidak mudah. Perlu konsentrasi, komitmen dan niat lahir batin. Sebenarnya menerjemahkan itu pekerjaan yang lebih santai daripada mengedit. Abaikan dulu soal tata bahasa, tanda baca, dan ketentuan baku lainnya. Toh, nanti masih diedit juga.
Tapi, tetap saja pekerjaan apapun pasti butuh fokus tingkat tinggi. Apalagi kalau pas lagi konsen-konsennya, ponsel terus berbunyi. Sangat mengganggu imajinasi. Cuma notifikasi dari grup WhatsApp tidak penting. Akhirnya kumatikan ponselku.
Tidak ada yang tahu kalau aku membantu Argo mengalih bahasa novel kecuali Tiara. Saat pekerjaan prioritasku selesai, aku segera melanjutkan proyek menerjemahkan novel impor secara diam-diam. Setidaknya dengan hal ini aku mempunyai waktu lebih banyak bersama Argo, mengamati perilakunya kemudian mendekatinya secara perlahan.
"Gue balik duluan, Nir," pamit Tiara sembari mengalungkan tas ransel mungilnya. Lalu, dia berbisik, "berhari-hari lo lembur sama Argo, tapi nggak pernah ngobrol? Betah banget lo dikacangin kayak gitu, Nir."
"Buruan lo pulang sana. Berisik," usirku setengah berbisik.
"Gue balik, tapi gue nitip salam buat Mas Navin, ya. Lo parah, Nir. Punya abang cakep malah diumpetin."
Selama ini Tiara memang menjadi tempat sampahku. Dia selalu siap sedia menampung tumpahan segala ketimpangan perasaanku, termasuk tentang ayah dan Mas Navin. Semakin sering dia mendengar, semakin penasaran pula Tiara dengan sosok kakakku satu-satunya itu. Kemarin sepulang kerja Tiara sengaja mampir ke rumahku. Pengin kenalan sama Mas Navin, katanya.
Benar saja, setelah bertatap muka, Tiara kesusahan mengerjapkan mata. Aku tidak menyangka ekspresi Tiara bakal sebegininya. Sampai membuat Mas Navin gerah lama-lama duduk di ruang tamu bersama kami berdua. Di situ aku tidak kuat menahan tawa. Sesudah Tiara pulang, Mas Navin menceramahiku habis-habisan. Lho, kan cuma kenalan saja apa salahnya? Kalau digituin, aku kan makin semangat menyatukan kalian berdua, Mas.
"Iya, gue salamin. Tapi nggak janji dapat salam balik lho, ya."
"Nggak perlu, Nir. Dia sering bolak-balik di mimpi aja gue udah hepi, kok."
Aku berdecak. Tampaknya Tiara sungguhan kasmaran. Tiara tertawa kencang seraya melambaikan tangan tanda berpamitan. Kudengar pintu ruangan ditutup dari luar. Sekarang, tersisa aku dan Argo di ruangan ini. Saling berhadapan, berkutat dalam keterdiaman. Jujur, aku bosan banget berada dalam suasana senyap begini. Ada orang lain, tapi tidak saling menganggap keberadaan masing-masing.
Tanganku beristirahat mengetik. Bersandar di punggung kursi, mataku lurus menatap satu-satunya manusia yang tertinggal di ruangan ini selain diriku. Rambut ikal Argo yang acak-acakan membuatku risih memandangnya. Coba saja itu rambut dirapiin sedikit atau dipangkas gitu, pasti kelihatan lebih keren. Tak terhitung berapa lama aku memerhatikannya, nyatanya dia tidak sadar juga.
"Masih banyak, Go?" tanyaku.
"Ya." Argo menyahut tanpa melihatku.
Sebenarnya bagianku sudah selesai, sih. Argo hanya memberikan seperempat bagian novel yaitu lima puluh lembar untuk aku terjemahkan. Selebihnya dia yang mengerjakan. Mas Genta tega banget. Aku jadi kepikiran mau melaporkan peristiwa tidak menyenangkan ini sama Mas Didas. Tapi, aku ragu apakah Mas Didas menanggapi aduanku.
"Gue udah selesai, nih. Mau gue kasih pakai flashdisk atau kirim email?"
"Email."
Jemariku berselancar lagi di atas keyboard. Mengirimkan hasil kerjaanku ke email Argo. Ketika kerjaan sudah beres, leher dan pundakku baru kerasa banget kakunya. Aku berpindah duduk di sofa panjang dekat dispenser, menyelonjorkan kaki sambil memerhatikan Argo beraktivitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ready To Love You [Terbit]
Romance[Pemenang Wattys 2019 Kategori Romansa] Pramesa Nirandana tidak mengenal Argo Dewangkara sepenuhnya meskipun mereka bekerja di dalam satu ruangan yang sama. Perlakuan tidak menyenangkan yang kerap dialami Argo, mengundang simpati Nira. Sebuah misi d...