05. Kakak Beradik

39.8K 5.2K 103
                                    

"Nih, foto-foto orang utan yang gue ambil di hutan Sabangau Kalimantan, Nir. Kalau yang ini foto gue di Baluran kemarin. Cakep, kan?"

Mas Navin menggelar beberapa foto hasil jepretannya di atas tikar. Aku meraih sebuah foto yang menampakkan sekelompok orang utan sedang menggosok-gosokkan tanaman di tubuh mereka. Aku tidak paham mereka lagi ngapain. Foto lainnya memperlihatkan seekor orang utan tengah mengunyah tanaman itu.

"Iya. Cakep, Mas. Orang utannya," sahutku takjub.

Memotret alam liar itu tidak gampang. Untuk mendapatkan momen yang tepat harus sabar mengamati berbagai perilaku hewan. Membutuhkan waktu hitungan minggu bahkan hitungan bulan. Meskipun terlihat seperti foto sederhana, hanya sekumpulan primata beraktivitas dengan tanaman liar, aku yang tidak paham fotografi saja bisa merasakan feel di foto itu.

"Dasar Kunir!" Mas Navin mengacak rambutku. "Gue yang cakep, bukan orang utannya."

Bibirku memberengut. "Iya, tahu."

"Gue punya video langka. Gue masang kamera trap di semak-semak, terus nggak sengaja ngerekam Macan Dahan lagi jalan-jalan. Ini macan spesies langka. Jumlahnya tinggal dikit. Lo mau lihat nggak?"

Mas Navin memperlihatkan video, terlihat seekor macan berjalan di antara kerimbunan pepohonan. Kucing besar bercorak loreng cokelat kehitaman itu tampak santai berjalan kemudian memanjat dahan pohon di depannya. Seketika aku terharu melihat kucing besar itu mencakari dahan pohon kemudian menjilati kuku-kukunya. Teringat Petruk, kucing kampung jantan peliharaanku yang mati ditabrak mobil. Warna corak bulunya persis banget sama macan itu. Sejak itu aku tidak tega melihara kucing lagi. Belum move on dari Petruk.

"Mirip Petruk, Mas. Gue nggak tega ngelihatnya." Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.

"Iya, sih. Gue juga inget Petruk tiap lihat video ini. Warnanya sama, kumisnya, ekornya juga persis pula. Yaudah, gue matiin aja, deh."

Setiap Mas Navin menceritakan pengalamannya berkelana di alam bebas, aku jadi pengin ikut berpetualang. Kedengarannya menyenangkan. Jalan-jalan, menyambangi tempat-tempat eksotis, mempelajari perilaku hewan, dan berbaur dengan alam. Kadang, aku jenuh juga setiap hari memandang layar komputer. Mantengin naskah yang seringnya berantakan dari segi tanda baca maupun tata bahasa bikin mataku pegal. Padahal sudah disediakan fasilitas berupa kacamata anti radiasi, tetap saja bikin mataku pedas.

"Jalan, yuk. Gue gabut nih hari Minggu cuma di rumah doang."

"Makanya cari pacar dong, Mas. Biar bisa diajak kencan. Gue mulu yang lo jadiin korban. Eh, cari istri aja sono. Udah tua juga. Keburu bangkotan lo."

"Kayak elo punya pacar aja, Kunir." Mas Navin memberantakkan rambutku lagi. "Buruan ganti baju sono. Gue nggak mau ngajak jalan anak perawan yang cuma pakai piyama kedodoran."

Aku menjepit hidung Mas Navin yang mancungnya kebangetan, lantas melarikan diri sebelum kena lemparan bantal. Itu hidung bikin iri saja soalnya hidungku tidak semancung itu. Hidung ayah dan ibu kayaknya biasa saja. Heran deh, itu gennya nurun dari mana coba. Ternyata setelah ditarik mundur silsilah keluarga kami, aku baru nyadar hidungnya Mas Navin mirip kakek begitu ditunjukkan fotonya. Iya, mirip banget malah. Tak heran, di dalam tubuh kakekku mengalir darah darah campuran Jawa-Arab. Aku tidak tahu bagaimana wajah kakekku karena beliau meninggal saat usiaku empat tahun.

"Kita mau ke mana, Mas?"

Mas Navin mengeluarkan motor sportnya dari garasi. Sebenarnya aku tidak suka dibonceng naik motor itu. Jok belakangnya ketinggian. Aku benci setiap ada serangan rem mendadak otomatis aku mesti menahan posisi supaya tubuhku tidak condong ke depan. Mas Navin jahilnya kebangetan.

Ready To Love You [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang