Kaktus

140 25 6
                                    

Aneh. Maki Katsuhiko itu aneh maksimal.

Tetiba datang menawarkan hati dan harapan. Lalu dihancurkan semena-mena. Menghilang nihil jejak. Kembali lagi tepat dua tahun dia menghilangーkembali mengatur-atur hidup orang. Enak sekali.

Namun, sekali lagi, semua ini tidak bakal kejadian kalau aku bisaーsetidaknyaーmenolak. Aku harusnya punya kuasa lebih untuk bilang tidak, memberontak, melawan. Bukannya manut saja dieret-eret. Kali ini aku mempertanyakan sistem kerja otak dan hatiku, rasanya kinerja mereka kacau parah hanya karena kedatangan eksistensi Maki Katsuhiko.

Punggung kutegakkan menempel punggung kursi kayu, satu tangan kuangkat menyeka basah yang lekat separuh lengket di pipi dan kedua mata. Sebuah benda di ujung meja, persis tersiram cahaya bintang artifisial dan bulan menarik atensiku. Pot gerabah kecil berisi kaktus hias.

Oh, hadiah pertama Maki.

Aku menarik pot sebesar tangkupan setelapak tangan ke depan badan, memerhatikan senyum menggemaskan matahari kreasi tangan jenius Maki.

Kaktus hias ini pertama dihadiahkan selepas aku dinyatakan lulus pendidikan universitas, menjadi teman ngobrolku tiap malam. Kenapa bukan cerita pada Akane yang notabene teman akrabku sejak tahun pertama universitas?

Terkadang, aku hanya butuh didengar sesuatu yang tidak bisa memberi respons dan reaksi barang sekecil perubahan raut sekalipun. Sayangnya, kebiasaan mengobrol sebelum tidur itu berhenti dua tahun lalu, sampai waktu ini aku hanya sekedar menyiramnya, lalu kutinggal begitu saja.

Aku berdeham singkat, memposisikan agar senyum si matahari sempurna menghadapku. Menarik napas pelan, kuembus halus lewat mulut. Aku mulai bicara, "Aku sudah lama tidak bicara denganmu ya."

Nihil respons, tentu saja. Apa yang bisa diharapkan dari kaktus hias kecil berpot gerabah? Bakal bikin geger sejagat sampai dia tetiba bicara menasihatiku panjang lebar sambil menghujat betapa labil dan pengecutnya diriku.

"Pasti sepi sekali. Bosan ya?"

Aku menggigit bagian dalam pipi, menahan bludakan emosi yang bisa tumpah sewaktu-waktu via mata. Nyatanya, aku juga merasa begitu kesepian.

"Aku ... boleh cerita lagi?"

Gummy smile si matahari kutandai sebagai persetujuan. Maka dari itu aku memajukan tubuh, melipat lengan di meja. "Aku benar-benar bodoh. Diam saja diperlakukan begini." Bibir bawah kugigit. "Aku tidak mau diperlakukan begini ...."

Kemudian sebuah pemikiran mendelusup ke benak, menyentil kesadaran.

Apa benar aku tidak mau?

Rasanya alasan itu terlalu dangkal, sekedar alasan tak bermutu untuk diberikan pada Maki.

Lantas apa alasan lain aku menurut saja di saat punya pilihan untuk menolak?






... tunggu. Tidak mungkin. Mustahil.


Barangkali kagok, dua tahun penuh aku lost contact darinya. Jadi merasa canggung total melihat dirinya yang semirip dua tahun lalu, hampir tak ada perubahan berarti pada Maki dari yang kuingat, mulai dari ujung terujung helai rambut mencapai ujung sepatu dan jejari-jemari tangan.


Bahkan senyumnya. Tawanya. Dan caranya menatapku.





Sekarang aku bingung. Semisal dia menawarkan harapannya (dan hatinya) untuk kali kedua, apakah aku akan mengabaikannya, atau haruskah aku menyambutnya?

Aku mendengkus. "Maki aneh. Aku bodoh. Kombinasi yang sangat buruk," rutukku keki sendiri. "Dianya nggak jelas apa maunya, aku bingung. Atau ya itu tadi, aku saja terlalu bodoh."

Lagi, kotak memori tersembul ke permukaan. Memancing sesak, guratan luka tak kasat mata, dan segalanya menjadi sangat jelas.


Maki yang sekarang jelas berbeda.


Segalanyaーapa yang ada pada dirinya; kebiasaan lama, gestur tubuh, kontrol emosiーtampak blur, buram tak keruan. Terasa sangat berbeda. Sesuatu yang sangat jelas adanya, tetapi tak bisa kuraba apa penyebabnya.

Pada akhirnya aku cuma menatapi si kaktus. "Aku harus apa?" Tanyaku putus asa.











Ping!

Aku mengusap pipi, membuka aplikasi demi mendapati chat teratas mengirim lima balon percakapan.






Katsuhiko
Aku sudah sampai
Mungkin kau sudah tidur
Aku akan tetap mengatakannya
Sorry
I really mean it.


Balon pembendung emosi telah dipecah dengan kejam. Malam itu, aku menangis di hadapan kaktus yang tak menahu.

Beli kaktus di toko taneman gitu mahal ga sih? Dari lama banget udah pengin beli tapi nggak tau mau naruh di mana wkwkwk kalo ditaruh di luar ada potensi dihancurkan kucing, di dalem takut dibuang Bapak :(

Eh iya, aku mau minta doa sama kalian yang baca. Kucingku baru kemarin banget hilang dari penitipan, mohon doanya semoga cepat ditemukan ya.

(Atau yang rumahnya di sekitaran Kadisoka (Kab. Sleman) kalau ada yang ngeliat kucing ras, hidung pesek, tiga warna aka calico, dan kupingnya ada eartip alias tanda sudah steril, bisa hubungi aku lewat DM.

Makasih yang sudah mampir baca, ngasih votes, dan berkomentar. Sampai ketemu lagi, byeee!! ♥

Curtain Call | MiyoshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang