Phosphenes

193 28 8
                                    

Aku tidak menyangka setelah sekian lama demam kembali menyerangku. Entah karena daya tahan tubuhku sedang nge-drop atau bagaimana, di pagi hari aku terbangun dengan badan panas bukan main, mata berair dan terasa panas juga, hidung mampet, tenggorokan kering, dan kepala sangat sakit. Saat ini sudah tengah hari, belum ada sesendok makanpun kutelan.

Tubuhku sangat lemas, aku tidak kuat berdiri lama-lama jadinya tidak bisa jalan ke dapur untuk sarapan dan makan siang. Kombinasi efek demam tadi saat ini ditambah naiknya asam lambung, membuatku mual setengah mati.

Mungkin aku harus menelepon orang, meminta tolong datang membawakanku makanan dan obat. Kira-kira siapa yang harus kuhubungi?

Akane? Ah, tidak. Dia pasti masih disibukkan dengan urusan pasca pernikahannya. Yang jelas menghubungi Ibu dan Ayah di rumah adalah pilihan buruk. Dipastikan mereka bakal membuat orang satu kampung heboh dan datang dalam rombongan ke tempat ini. Tetangga-tetangga di apartemen ini tak ada yang bisa dimintai tolong. Berarti pilihan terakhirku adalah Hiroyuki. Dengan sisa tenaga dan kepala berat, kutekan speed dial untuk menghubunginya.

“Halo?”

“Hiroyuki,” panggilku dengan suara hampir habis saking kering dan perihnya leher. Aku terbatuk sekali.

“Halo, kau kenapa?” Suara di seberang terdengar panik.

“Bisa tolong datang? Aku … sedang kacau.” Kuusap keringat dingin di pelipis, sesekali menjambak rambut dengan harapan sakit di kepala akan hilang.

“Suaramu hampir hilang. Kau sakit?” tanyanya khawatir. “Sekarang kau ada di rumah?”

“Memang di mana lagi? Cepat datang. Aku nyaris mati kelaparan.”

“Tunggu. Apapun yang terjadi jangan putus panggilannya.” Ada sejenis kekalutan dalam suaranya berlatar belakang suara pintu berdebam menutup dan tapak sol pantofel mengentak lantai. “Tunggu,” pesannya lagi.

Sekitar lima belas menit kemudian kunci pintu depan terbuka bersama suara samar gesekan bagian bawah celana bahan dan gemerisik kantung plastik. Pemikiran yang sebelumnya tak terlintas mendadak merasuk dalam kepalaku. Sepertinya aku harus minta maaf telah membuat Hiroyuki meninggalkan pekerjaannya demi mengurus sepupu lemahnya.

“Hirooo, kau bawa makan ‘kaaaan?” Aku berguling menuju ujung kasur, bangkit perlahan untuk mendudukkan diri sambil memegangi kepala yang serasa seberat batu. Beban serasa bertambah ketika pintu kamar berkeriat terbuka. “… Miyoshi?”

Dia tak menjawab, malah terus berjalan mencapai nakas di sisi kasur, meletakkan kantung plastik di sana, kemudian beralih menempelkan punggung tangannya ke keningku. Berpindah ke pipi, turun ke leher. “Sejak kapan?”

“Tadi pagi,” jawabku lemas bercampur bingung. Refleks aku melihat seperti apa penampilannya yang bisa dibilang … bukan Miyoshi banget. Mungkin jika dinilai dia hanya dapat nilai delapan dari sepuluh karena rambutnya masih sangat rapi. “Bagaimana kautahu aku sakit?”

Miyoshi menegakkan tubuh. Menolah-nolehkan kepala sebentar sebelum melenggang keluar kamar. “Kau sendiri yang meneleponku. Omong-omong Hiroyuki itu siapa?”

“Hiroyuki?”

“Kau meneleponku, tapi yang kaupanggil Hiroyuki. Siapa dia?”

Hah? Sebentarーapa?

“Aku meneleponmu?” tanyaku bingung sambil menerima gelas air.

“Siapa Hiroyuki? Pacarmu?”

Curtain Call | MiyoshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang