Quibble

196 26 12
                                    

Bunyi desis muncul ketika adonan okonomiyaki dituang ke permukaan teppan. Wanginya merangkak ke mana-mana bercampur uap tipis dan wangi-wangi dari kompor lain. Speaker tua di pilar-pilar kayu warung okonomiyaki menyenandungkan lagu lama, mendayu sesekali disela bunyi kerosak. Miyoshi duduk di hadapanku dengan kedua tangan terlipat di depan dada, matanya lurus-lurus menatap ke depan. Jika ada yang mengibaratkan tatapan orang dengan laser yang mampu melubangi atau membakar sasaran, maka itulah yang kurasakan sejak tadi.

“Kalau kau takut punyamu kuapa-apakan, tenang saja.” Okonomiyaki matang kuletakkan di bagian tepi teppan, jauh dari area yang terkena panas api kompor. “Jadi tidak usah menatapku begitu,” sambungku.

“Rasanya sudah lama sekali.”

“Hm? Apanya?” Tanyaku sembari mengocok adonan dalam mangkuk. Memilih tak membalas tatapannya karena aku tahuーtanpa melihatnya aku sudah tahu tatapannya melunak.

“Kencan pertama kita.” Embus napasnya disisipi dengkus tawa tipis. “Ah, apa itu bahkan bisa disebut kencan?”

Sebenarnya tidak. Tidak dengan Miyoshi yang ditatapi pengunjung dan pegawai warung seolah mereka menuduhnya karena aku menangis saat itu.

“Terserah mau dibilang kencan atau bukan,” aku menjawab dengan bahu terangkat, berusaha tidak peduli. Adonan bertemu permukaan panas teppan menghasilkan desis di tengah keramaian. "Omong-omong, kau tidak sedang sibuk?"

"Kenapa memang? Kau mau merencanakan kencan di tempat lain setelah ini?"

Aku otomatis mendelik. "Orang ini dapat stok pede dari mana sih." Tawanya sehalus butir salju merintik bumi, tetapi hangatnya menyamai pemanas ruangan. Telunjuk bergerak-gerak memosi sesuatu. "Apa?"

"Itu tidak gosong?"

"Hm? Ahー" cepat-cepat kukikis okonomiyaki dari bagian paling tepi. Syukurlah belum terlambat. "Makanya jangan bicara aneh-aneh."

"Tadi kau duluan yang bicara."

"Ya tapi aku tidak ada niat membahas yang itu," balasku dengan penuh penekanan di akhir kalimat.

"Yang itu apa?" Tanyanya belagak inosen.

Aku merotasi bola mata. "Sudah sana lanjut saja makannya."

"Apa? Membahas apa?" Alih-alih makan dengan gaya sok elegan memakai sumpit, dia justru mencondongkan tubuh. Garis bibir meliuk senyum.

"Ck, lupakan," cetusku keki.

"Padahal waktu itu kau sangat menggemaskan."

"Menggemaskan? Kau membawa seorang gadis yang menangis jelek dan kau bilang dia menggemaskan?"

"Menggemaskan karena, satuーyang kau tangisi itu seseorang yang belum tentu sadar kau ada. Duaーkau menangis seperti bocah."

"Memang apa salahnya? Begini-begini juga dulu kau suka," balasku sebal. Permukaan kompor pemanggang berderit tergores spatula.

"Bukan, bukan. Bukan dulu, tetapi masih."

Setelah berhari-hari mendengarnya (ーbenar-benar mendengarnya setiap hari karena dia mulai berhenti mengirim pesan teks dan beralih ke fitur voice noteー) bicara manis begini, sepertinya alam bawah sadarku mulai terbiasa. Jika dulu aku lebih sering terkejut dan bertingkah memalukan, sekarang aku bisa membalas lebih kalem. Dan dia akan semakin gencar kalau aku mulai mengabaikannya.

Ini persis seperti waktu itu. Kami duduk berhadapan. Super awkward karena aku masih masuk mode menangis jelek tidak berani mengangkat wajah. Pesanan dalam proses dikerjakan, tetapi karena kedai sedang ramai saat itu dua porsi okonomiyaki kami belum juga diantar. Bisa saja salah satu dari kami memanggang, sayangnya Miyoshi lebih suka duduk santai memangku dagu.

Curtain Call | MiyoshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang