Makan Pagi Rusuh

165 28 5
                                    

“Weitsーeh, eh, eh!” aku keburu menahan agar Maki tidak semena-mena masuk ruang privasiku. “Mau apa?” tanyaku waswas.

“Sarapan,” jawabnya datar.

“Makan itu di restoran. Kurang kerjaan sekali, mau sarapan saja harus jauh-jauh ke sini.”

“Suka-suka.”

“Ya, tapi aku tidak suka!” Semburku. “Jangan masuk. Sana, pergi.”

Maki menunduk. Aku baru sadar jaraknya sudah sedekat apa dengan tubuhku. “Kau marah? Harusnya aku yang marah.”

Dia mengangkat tangan dari benaman saku trenchcoat. Dingin mengusapi pipiku yang terasa sedikit lengketーbekas air mataーnaik sedikit membersihkan sudut-sudut mataku, mengenyahkan kotoran yang bersarang tanpa merasa jijik atau menunjukkan respons anti pada sesuatu yang kotor seperti biasa.

Kemudian tangannya turun, tertambat di ujung daguku, menarik sedikit agar pandangan kami sejajar. Ibu jarinya mengusap bibirku halus hingga dingin jemarinya mengenai bibir bawahkuーbagian yang secara mengejutkan terasa sakit saat disentuh.

“Maaf,” katanya lembut.

Aku sejak tadi menjadi batu, diam tak merespons apapun, kini membelalak sejadinya semenjak menyadari lengkung ganjil bibirnya dan sepasang biner cokelat berkilat jenaka. Panas yang kontras dengan suhu jemari Maki merambati pipi. Aku secepat kilat menepis tangannya.

“Aku tidak menerima tamu sepagi ini. Pergi sana, hus!” Usirku.

“Sekedar info, kau mengusirkupun aku tetap bisa masuk berkali-kali.”
Sial. Harusnya dulu kurebut kunci duplikatnya sebelum dia pergi.

“Aku boleh masuk ya?” Wajah penuh ekspresi jahil bertransformasi, menampilkan wajah memelas. “Makanan dan minumannya keburu dingin.”

“… ck. Sesukamu,” kataku akhirnyaーdengan sangat tidak tulus. Membiarkannya menutup pintu dan melepas sepatu di genkan. Aku masuk kamar mandi setelah memastikan Maki tidak melakukan hal-hal tidak berfaedah selain menyiapkan makanan dan minuman di meja makan.

Handuk kugantung di sisi wastafel, laluーASTAGA NAGA.

Aku melongo menatap bayangan dalam cermin. Rambut berantakan luar biasa seperti habis disaput badai. Mata sembap, kelopaknya agak bengkak, pipi basah, lengket oleh sisa air mata. Hidung merah, bibirー




Oh, astaga, sial kuadrat. Pantas perih kalau disentuh.

Maki Kurang Ajar Katsuhiko.

Aku segera menyelesaikan urusan di kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi singkat. Ganti baju yang lebih rapi dengan kaus oversized lengan panjang yang bagian lehernya lebih tertutup, menyisir rambut sebelum disatukan dalam cepolan apa adanya. Baru menyusul Maki di meja makan.

Di sana, kotak take away berisi nasi dan ayam ditata rapi di hadapan kursi makan. Tatakan gelas menjadi bantalan cup kopi panas, diletakkan di sisi kanan kotak makan. Maki telah melepas trenchcoat, menampilkan sweater marun dan jeans warna moka, sudah duduk rapi di kursi makan, saat ini tengah melinting lengan sweater sebelum mencacah daging ayam memakai sumpit.

Aneh sekali dia. Sudah tahu tidak suka makan pakai tangan langsung, tapi beli fast food.

Tanpa diduga, aku mendapat bagian ayam yang tidak kusuka. Kulirik potongan ayam di boks Maki. Pahaーatas-bawahーyang telah dipisahkan dari kulitnya. Satu kebiasaan membingungkan Maki, yaitu selalu memisah kulit ayam yang super-duper enak.

“Punyaku bukan paha? Terus, itu kenapa kulitnya disisihkan?”

“Makan saja kalau kau mau.”

“Itu jatah makanmu. Ya yang harus menghabiskan itu kau.”

“Kau mau makan paha ‘kan? Kulit ini punyanya paha, berarti kau yang makan.”

“Kenapa sih, kau sentimen sekali dengan kulit? Padahal enak. Renyah dan empuk jadi satu.”

Keningnya berkerut tak menyenangkan. “Aku tidak suka.” Senyum timbul di wajahnya. “I better taste yourーargh!” Kaki di bawah pijakanku ditarik mundur empunya.

“Apa, mau taste apa kau, hah?” Aku melotot, tahu persis apa yang dilirik Maki barusan. “Jangan macam-macam!” Ancamku.

Maki dengan cekatan memindah dada ayam dari kotakku, ditukar paha plus kulit. “Tenang saja. Kau belum mandiーbaru cuci muka, gosok gigipun, tidak bersih. Aku malas melakukan yang macam-macam.”

“Siapa juga minta diapa-apain. Cih,” cibirku kesal.

Pemuda di hadapanku meloloskan tawa. Tawa pertamanya di rumah ini setelah sekian lama.

Maki benar-benar (sekurang kerjaan itu) datang karena ingin sarapan bersamaku. Setelah makan dan minumnya ludes, dia pamit begitu saja.

“Sudah ya, jangan rinduー”

“Tidak, cih. Sana, pergi. Yang jauh sekalian.”

Bibirnya menggurat senyum tipis. “Memang mau pergi yang jauh. Tidak ada yang menjemputmu mulai besok, jadi baik-baik di sini ya.”

Raut wajahku mengendur.





Iya ya, kan doi mau plesiran ke Jerman.

Btw, ringtone sama alarm itu kejadian nyata wkwkwk cuma nggak sampe ke-loud speaker wkwkwkwk.

Eh iya, aku mau minta doa sama kalian yang baca. Kucingku baru kemarin banget hilang dari penitipan, mohon doanya semoga cepat ditemukan ya.

(Atau yang rumahnya di sekitaran Kadisoka (Kab. Sleman) kalau ada yang ngeliat kucing ras, hidung pesek, tiga warna aka calico, dan kupingnya ada eartip alias tanda sudah steril, bisa hubungi aku lewat DM.

Makasih buat yang udah baca, ngasih votes, dan ngekomen. Semoga nggak mengecewakan yaa, sampai ketemu lagi♥♥

Curtain Call | MiyoshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang