Raxeira

244 32 15
                                    

Miyoshi tak muncul hingga pukul sebelas.

Tidak, tidak. Bukannya aku ingin dijemput atau semacamnya. Selama kurang lebih empat bulan terakhirーbulan-bulan sebelumnya, dimulai sejak pertemuan di hari itu belum dihitungーterbiasa direcoki rentetan pesan dan telepon masukーbelum lagi semakin ke sini dia semakin berani menampakkan diri di lobi apartemen membuatku merasa aneh ketika selama dua minggu terakhir Miyoshi seperti mendadak menghilang ditelan bumi. Normalnya, aku bisa saja berinisiatif menghubunginya lebih dulu.

Namun, orang yang kubicarakan ini adalah Miyoshi garis miring Maki Katsuhikoーaktor dengan segala hal serba abu-abu yang mengatakan padaku dia akan meninggalkan Jepang dalam waktu dekat. Bisa saja dia sedang mempersiapkan kepergiannya, mengurus tempat tinggal dan segala kebutuhan yang dia perlukan di Jerman nanti. Aku yang menghubunginya mungkin akan mengganggu, jadi lebih baik kutunggu sampai dia balik menghubungiku.

Musim semi telah datang sejak dua bulan lalu. Salju telah sepenuhnya mencair, rumput-rumput menghijau di tanah lapang, pohon merindang, bunga-bunga bermekaranーplus membuat orang-orang terkena flu dan iritasi mata. Tak terasa empat bulan berlalu dengan sangat cepat. Tahun ajaran baru telah dimulai, aku kembali disibukkan dengan berbagai urusan sekolah; mengajar, mempersiapkan festival olahraga untuk bulan Mei, dan kesibukanku bertambah ketika aku diminta menjadi guru pengawas ekskul radio.

Miyoshi juga sama sibuknya. Di hari kerja dia menghabiskan waktu berlatih dan merecokiku sepanjang hari. Terkadang dia membawa naskahnya, menyempatkan membaca di waktu senggang, sesekali bertanya padaku atau meminta saran tentang aktingnya.

Waktu merangkak. Jarum pendek menunjuk angka dua belas dengan jarum panjang nyaris melewati angka yang sama, dan aku masih terjebak antara harus menghubunginya atau langsung ke gedung teater saja.













“ーnomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi atauー”
















Oke. Sesibuk apapun Miyoshi dia hampir tidak pernah mengabaikan telepon.

“Apa ponselnya mati ya?” gumamku.
Di percobaan kedua dan ketiga, ponselnya masih susah dihubungi.














Tuut … tuut … tuutー




















“Halo?”













“Astaga, Miyoshi!” Pekikku refleks. Aku buru-buru membekap mulut, kalor menjalar ke wajah kala mendengar tawa dari seberang. Hm, ada apa ini?

“Apa ini? Akhirnya kau merindukanku juga ternyata.” Suaranya parau. Suaranya seperti daun kering yang diinjak dan dihancurkan perlahan.

“Sebentar. Ada apa dengan suaramu? Kau sakit?”

“Aku baik-baik saja. Ada apa menelepon?”

“Err … kau ….” Aku menggigit bibir bawah. “Kau waktu itu bilang … err ….”

“Datang pagi karena aku mau sarapan denganmu? Ah, benar juga, sekarang sudah masuk jam makan siangーmaafkan aku.”

“Itu bukan masalah.” Kuabaikan sisa panas di pipi. “Tapi apa kau yakin kau baik-baik saja?”

“Sebenarnya tidak.”

“Nah ‘kan. Cepat katakan kau butuh apa biar kubelikan sekalian jalan ke tempatmu.”

“Kau datang?”

“Tempat tinggalmu masih sama ‘kan?”

“Kau benar-benar akan datang?”

“Apa aku tidak boleh datang?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Curtain Call | MiyoshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang