Aku tak dapat melahap makananku dengan nikmat, rasanya seakan berubah mengikuti suasana hatiku saat itu.
Aku sudah tak tahan dengan sikap overprotektif sekaligus posesifnya itu, tak butuh waktu lama aku pun berdiri dari kursi yang aku duduki.
Belum sempat aku melangkah pergi, Kakakku mencegahku."Mau kemana lu ? Makanan lu belum abis tuh. Habisin dulu napa." Katanya.
"Bayarin makananku." Jawabku kesal.
Tanpa berkata apapun lagi, aku bergegas pergi meninggalkan Kakakku.
Kemarahanku makin meluap, ingin rasanya aku melepaskan semua amarahku itu di depan Kakak, tapi saat itu kami berada di kantin dan suasanannya pun ramai, aku tidak mungkin memarahinya di depan banyak orang. Meski aku kesal padanya aku tidak mungkin melakukan itu, sebab bagaimana pun dia kakakkku dan aku tidak sepatutnya mempermalukannya di depan umum. Tapi kenyataannya dia yang selalu mempermalukanku di depan umum.
"Kin, Kinan." Panggil Nia.
Nia bergegas membayar makanan yang dia pesan dan bergegas pergi menyusulku.
"Kin, Kinan. Kinan stop dulu napa si." Kata Nia menarik tanganku agar aku berhenti berjalan.
"Lu lihat kan, gue tuh kesal. Kenapa dia kayak gitu ? Emang Radith salah apa ? Toh dia cuma duduk sama gue. Apa Radith bertindak anarkis ? Gue heran, entah isi pemikiran seperti apa yang ada di otaknya ?" Kataku kesal.
"Udahlah, mungkin tadi emang dia mau makan bareng sama lu, makanya dia nggak ngebolehin lu makan sama Radith. Ya kan." Jawab Nia mencoba menenangkanku.
"Apa ? Mau makan bareng tapi bersikap kayak gitu ke orang lain. Apa dia nggak ngerti etika ? Dia bisa kan ngomong baik-baik." Kataku masih kesal. "Tapi ya begitulah dia, dari dulu selalu seperti itu. Ngelarang gue ini ngelarang gue itu, lama-lama dia mulai ngatur-ngatur hidup gue. Nggak boleh gini, nggak boleh gitu." Lanjutku marah.
"Ya udahlah, nggak usah kesal gitu." Kata Nia.
"Ikut gue !" Kata Kakakku yang tiba-tiba muncul dan menarik tanganku.
"Apaan si." Kataku mencoba melepaskan tangannya.
"Ikut nggak !" Katanya lagi.
Aku masih mencoba melepas tangannya yang menggenggam erat lengan tanganku.
"Kalau Kakak mau aku ikut sama Kakak, lepasin tanganku dulu." Kataku.
Kakakku melepas genggaman tangannya di lenganku.
"Sekarang ikut gua !" Pintanya sedikit membentak.
"Bisa nggak si, ngomong baik-baik. Kasar banget." Kataku.
"Kalau lu mau nurut dan dengerin apa kata gue, gue nggak bakalan sekasar ini sama lu." Sahut Kakakku.
"Ni, lu duluan aja ke kelas." Kataku kepada Nia.
"Em... Ok. Duluan ya Kak." Kata Nia.
Setelah Nia pergi Kakakku mulai menarik lagi tanganku, dengan sigap aku menepisnya.
"Udah ngomong di sini aja, Nia juga udah pergi." Kataku.
"Lu kenapa si dek kayak gini ke gue ? Gue ada salah ama lu ?" Tanyanya yang perlahan sudah mulai bersikap halus dan nada bicaranya tak tinggi lagi.
Aku hanya diam tak menjawab perkataannya.
"Karena tadi ?" Tanyanya lagi.
Aku masih tak menggubris perkataannya.
"Dengerin gue, gue itu..." katanya yang terpotong olehku.
"Itu apa ? Emang dari dulu Kakak kayak gini kan." Kataku memotong perkataannya. "Udah deh, aku nggak perduli. Aku mau ke kelas, males debat sama Kakak." Lanjutku pergi meninggalkan Kakakku.
Sekitar jam 4 sore, kami pulang dari sekolah. Aku langsung naik ke motornya dan tak berbicara apapun padanya, bahkan saat perjalanan pulang.
Dia pun juga begitu. Kami saling diam hingga sampai di rumah.Aku turun dari motor tanpa menghiraukannya. Biarkan saja, aku memang marah dan dia harus tahu itu.
Aku masuk ke dalam rumah lalu mencium tangan Ibuku di susul oleh Kakakku. Ibu sempat bertanya padaku kenapa aku terlihat kesal ? Tanpa menjawab aku langsung masuk ke dalam kamarku.
Ya, kesal. Hanya itu yang aku rasakan saat ini, rasanya ingin sekali aku melampiaskan semua kekesalanku. Aku benci Kakak, aku benci hidupku. Aku benci dunia ini.
- -○○- -
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BROTHER MY HERO
Teen FictionBagaimana jadinya hidup kalian jika mempunyai saudara laki-laki yang overprotektif ? Atau bahkan posesif ?