Road to You

612 54 10
                                    

Kepulan asap putih dari secangkir kopi hitam menguap menuju jendela yang menampilkan kondisi Seoul saat pagi hari. Ekor mata seorang memindai jalanan yang kini terlihat tak sesesak seperti biasanya. Para pejalan kaki tampak tak tergesa-gesa seperti hari-hari kemarin, yang menggebu.

Disesap lagi aroma biji kopi yang harumnya menyeruak,  membuat gadis itu menutup kedua kelopak matanya seraya menarik nafasnya panjang. Hari ini libur, yang berarti dia tidak perlu bersesak ria di subway. Yang berarti dia tidak perlu lelah berdiri di kereta bawah tanah. Yang berarti dia tidak perlu bertemu pria itu. Yang berarti dia tidak perlu berpikir berjuta kali tentang kata apa yang pantas untuk dijadikan sapaan.

Yang berarti dia merindukannya. Yang berarti dia menginginkannya.
Semua terasa memiliki arti. Pria itu.

Gadis itu, yang namanya menyerupai salah satu anggota girlgrup terkenal di negaranya, SNSD, sudah terbiasa menjadi bahan ledekan karena namanya.

Lihatlah mesranya Choi Sooyoung dengan sang kekasih. Jika saja marganya bukan Park, mungkinkah nasib percintaannya akan sama dengan Choi Sooyoung?

Mata gadis itu terbuka disertai kekehan kecil, "Bicara apa kau Park Sooyoung."

Kepala gadis itu diletakannya pada sandaran sofa. Menjatuhkan pandangannya lebih dekat dengan jendela. Sinar matahari pagi ini tidak akan menyilaukannya. Begitupun vas bunga bening disampingnya. Semua  akan menyilaukannya jika saja bayangan pria itu tidak tertangkap netranya.

"Ah dia sudah sampai" gumamnya kecil.

Jemari kecil gadis itu menelusuri lekuk pria itu dari balik kaca jendela. Menyentuh kepala hingga sepatu kets abu yang pria itu kenakan.

"Mengapa dia tidak lari pagi?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

"Apa dia membeli cappuccino lagi? Atau latte?"

"Dia pakai jaket minggu lalu. Apa itu sudah dicuci?"

"Dia selalu memotong bagian situ. Mengapa tidak dia potong dari bagian tengah kue?" Kekehnya kecil.

Saat tubuh pria itu bangkit, meninggalkan meja cafe yang sempat 10 menit ia duduki, mata gadis itu kembali mengekor.

Dilihatnya pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Jemarinya terus mengusap layar ponsel.  Sebentar saja,  kemudian pria itu meletakkan kembali ponsel ke sakunya. Kemudian yang menjadi objek penglihatan gadis itu beralih menatap jalanan yang agak ramai.  Netra hitam pria itu seperti menembus lalu lalang kendaraan.  Menyiratkan penat dalam pikirnya.  Gadis itu selalu ingin menerka, apa gerangan yang selalu pikirkan.

"Apa dia memikirkan ku? " Harap Sooyoung.

Pikiran sepersekian detik itu berubah menjadi hembusan napas yang terdengar berat. Bodoh.  Mana mungkin pria itu memikirkan seorang gadis yang telah dicampakkan ini.

"Mengapa dia terus-menerus duduk disitu?  Mengapa dia selalu pergi ke cafe itu? Mengapa dia selalu berkeliaran di pikiran ku? Mengapa? " Sooyoung terus merutuki kebodohan nya. Menginginkan sesuatu yang jelas sudah terlepas dari genggaman tangannya.

Sooyoung berharap. Sekali saja.  Sekali saja pria itu menoleh padanya.  Melihat dirinya.

Kemudian desir angin musim gugur menyapu wajahnya dingin. Seolah ikut mendorong pria yang ia harapkan untuk menoleh padanya.

Dia menoleh.

Mereka menatap.  Mata mereka bertemu.

***

Sungjae terpaksa menegakkan tubuh yang sungguh masih ingin bergerumul lebih lama dalam hangatnya selimut tebal yang kini memeluk tubuhnya.  Jika saja dia tidak ingat kebiasaan yang wajib ia lakukan setiap hari libur-pergi ke cafe.

Sungguh itu hanya alasan karena sesungguhnya kebiasaan yang wajib ia lakukan adalah meminum segelas kopi untuk menatap sebuah bangunan. Apartemen sooyoung.  Itu tujuan yang sebenarnya.

Segera ia bergegas mandi dan bersiap. Diambilnya jaket cokelat favoritnya dan segenap keberanian.

Dia mengakui bahwa dialah yang memutuskan hubungan mereka dulu. Itupun karena sifat keduanya yang belum dewasa dan tidak terlalu pandai memahami ego masing-masing. Sungguh Sungjae masih ingin memegang tangan gadis itu.  Masih ingin merengkuh nya dalam peluknya. Masih ingin menatap wajah putih susunya itu. Dan masih banyak keinginan yang tidak tersampaikan.

Tangannya meraih sepasang sepatu kets abu-abu. Langkah kakinya terdengar ragu penuh harap. Semoga hari ini ia dapat melihat wajah gadis itu dari balik jendela. Semoga kali ini ia berani menatap kamar gadis itu. Semoga.

Diantara lamunan itu, langkah kakinya sampai ke depan pintu cafe. Tangan dinginnya mendorong pintu kaca dan sesaat setelah masuk,  indera penciuman nya telah penuh dengan aroma kopi.

"Cappucino satu dan....  Red velvet cake nya satu. "

Setelah menunggu sejenak,  Sungjae membawa nampan yang berisi kopi dan kue nya itu ke meja luar. Dia ingin suara ramai di pikirannya terkalahkan dengan bisingnya jalan pagi ini. Namun suara degupan jantungnya malah terdengar lebih keras.

"Tenanglah, Sungjae.  Kau pasti bisa! "

Ia menyesap kopi milik nya. Sepasang netra hitam itu belum berani melirik kearah kamar gadis itu.  Semakin ia mencoba,  semakin keras debaran jantungnya.

"Dasar pecundang. " Umpatnya.

"Mari kita netral kan debaran ini dengan sepotong kue. " Tangannya bergerak memotong tepian kue,  lalu menggigitnya. Rasa manis itu masih belum mampu menetralkan detak jantungnya.

Tidak,  ia tidak bisa. Rasa gugup terus memeluk dirinya. Apa ia harus menyerah? Haruskah ia pulang.

Sedetik kemudian ia menyetujui pikirannya untuk pulang. Sungjae bangkit dari kursinya. Namun belum jauh ia melangkah,  langkah kakinya terhenti.

Kemudian, Sungjae merogoh sakunya.  Ia mengeluarkan ponselnya. Jemarinya membuka galeri,  mengklik sebuah foto.

Foto mereka berdua. Foto saat keduanya menikmati sore yang indah di sebuah cafe.

"Apa aku harus melihat mu? Apa aku harus? "

Dia menutup kembali ponselnya dan meletakkan kembali ke dalam sakunya. Ditatap nya jalanan.  Mencari jawaban akan keraguannya. Dia ingin, tapi takut. Sungguh ia merindukannya.

'Baiklah. Mari kita lihat.  Meskipun hanya jendela kamarnya saja, setidaknya kau sudah berusaha' ucapnya dalam hati.

Kemudian, semilir angin musim gugur menerpa wajahnya. Pandangannya beralih menuju kamar gadis itu.

Deg.

Gadis itu sedang berada di kamarnya.

Ia sedang memandang lurus ke hadapannya.

Mata mereka bertemu.

Sungguh debaran jantungnya telah menggila. Pandangan mata gadis itu sungguh telah menusuk hatinya.

"Soo...young"

Sungguh rindu yang menyesakkan bagi keduanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Shoot Sungjoy CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang