Hari semakin senja, mayat sang Dukun santet dibiarkan terikat di pohon dengan tubuh yang sudah terbelah. Lalat dan serangga kecil lainnya mulai mengerumuni mayat Dukun tersebut. Tetesan darah merah segar menetes tak henti-henti hingga membasahi tanah."Bang Komar, itu gimana mayatnya?" tanya Parjo dan Abdul yang kini kebingungan tentang mayat tersebut mau diapakan.
"Biarin aja sampe membusuk disitu," jawabnya tanpa pikir panjang.
"Tapi Bang nanti malah jadi penyakit dan berbahaya. Bagaimana kalau kita buang saja dia ke sungai," usul Parjo dan Abdul menganggukan kepala menandakan setuju.
Bang Komar terdiam. Bola matanya diarahkan keatas sambil memikirkan sesuatu hal dan ia berjalan ke arah kebun lalu kembali membawa batu yang cukup besar.
"Batu itu untuk apa Bang?" tanya Parjo yang mulai bingung.
"Itu mayat turunin dan bawa ke pinggir sungai, inget jangan sampe ada yang tertinggal, apapun itu!" tegas Bang Komar mengingatkan.
Parjo dan Abdul menganggukan kepala lalu berangkat membawa mayat Dukun tersebut ke sungai diikuti Bang Komar dari belakang.Sesampainya di sungai.
"Jo iket nih batu ke badan dan kaki, lu lilit pake tambang nih biar ini mayat tenggelam dan membusuk di dasar sungai." pinta Bang Komar.
" Bener juga ya Bang, saya ga kepikiran, hehehe," Tawanya menyeringai.
"Sebentar ada yang kurang," Parjo dan Abdul terkaget saat Bang Komar mengambil pisau dan memotong kuping dan mencongkel kedua bola mata sang Dukun yang telah menjadi mayat.
"Buat apaan bang?"
"Buat kenang-kenangan, udah buru lempar."
Burrrrrr tenggelamlah mayat itu.=====
Matahari mulai menghilang dari pandangan berganti dengan cahaya bulan. Lampu minyak menyala di setiap sudut rumah membuat suasana malam di Kampung Barata begitu tenang di tambah angin malam yang begitu sejuk membuat mata setiap orang mengantuk.
"Assalamualai'kum," salam Bang Komar ketika ia masuk ke dalam rumah dan di sambut oleh sang Istri.
"Wa'alaikumsallam," sahut sang Istri dengan senyum manisnya dan rambut yang terkuncir rapi.
"Bang baru pulang," tanya sang Istri yang mulai menggandeng tangan Bang Komar lalu mengajaknya duduk di lantai dan ingin berkeluh kesah.
"Bang, apa Abang ga salah membunuh Mbah Wiryo?" Isak tangis mulai terdengar mengayun pelan dari wajah sang Istri yang tengah menunduk takut perihal Mbah Wiryo yang telah di bunuh warga dengan sadis.
"Dia bukan Mbah mu lagi Lin! Jangan pernah kau sebut ia sebagai bagian dari keluarga," ketus Bang Komar.
"Bang ... Darimana Abang tau jika Mbah Wiryo lah pelakunya, apakah Abang punya bukti tentang tuduhan santet yang terjadi pada keluarga Pak Ridwan," ungkap sang Istri dengan halus dan tetap tenang.
Bang Komar menarik nafasnya dan mendengus kesal memukul tembok dengan keras dan berteriak tanda penyesalan. Lina sang Istri memeluknya erat mencoba menenangkan sang Suami yang tengah gundah gulana akibat nafsu yang mempengaruhi Suaminya.
"Pegang ini Lin, jangan kau buka. Simpanlah di lemari jika nanti ada yang meminta berikan saja dan tanyakan kepadanya, 'Mana bayarannya.' Abang mau mandi dulu," tukasnya dan berlalu pergi ke dalam
Lina nampak bingung dengan kotak yang dia akan simpan di lemari tersebut, rasa penasaran menggelayutinya namun dia tetap taat kepada sang Suami.
Lina bukanlah Istri yang bodoh dan cuek. Dia menyadari jika suaminya melakukan kesalahan yang amat fatal, maka kewajibannya mengingatkan sang Suami dengan pelan dan tidak gegabah agar fungsi ia sebagai istri semakin jelas, untuk saling mengingatkan satu sama lain."Lin ... Bisa tolong ambilkan handuk?" teriak Bang Komar dari kamar mandi namun Lina tak menyahut.
Bang Komar melongok ke ruang tengah tempat dimana Lina bersolek ketika malam datang, tapi sayangnya Lina tak ada di tempat, 'Kemana Lina?' gumamnya dalam hati.
Bang Komar keluar dari rumah dan melihat halaman depan mencari dimana sang Istri berada dan akhirnya ia menulusuri jalanan kampung dan berjumpa dengan Parjo.
"Joo ngeliat bini gue ga?" tanyanya serius.
"Bini abang? Teh Lina? Lah itu Teh Lina," jawabnya santai.
"Ah masa iya itu bini gue? Beneran Jo?" tanyanya kebingungan.
Bang Komar melangkah mendekati perempuan yang tengah berdiri di rumah Mbah Wiryo. Ia berdiri agak jauh dari rumah tersebut dan menatap serius perempuan yang tengah berdiri tegak di depan rumah Mbah Wiryo si Dukun santet."Linaaa ...." panggilnya namun tak menyahut.
"Lina ...." Dipanggilnya lagi namun tak merespon.
Bang Komar duduk di tanah, mengucap sesuatu hal yang terdengar seperti sumpah serapah dan membuat perempuan di hadapannya menoleh tajam memandangnya.
Wajah perempuan itu rusak terbakar dan kulitnya mengelotok dan mulai tercium aroma anyir dan bau nanah. Belatung berjatuhan dari wajah si perempuan. Bang Komar tak bisa bergerak, tubuhnya kaku, lidahnya keluh, saat sang perempuan mulai berjalan mendekatinya. Nafas Bang Komar mulai tak beraturan, suara tangisan perempuan itu melengking keras di telinganya membuat gendang telinga Bang Komar pecah dan mengakibatkan hidung dan kuping Bang Komar mengeluarkan darah. Semakin lama semakin dekat jarak mereka, tangan hitam penuh darah itu bergerak mengarah ke bagian leher Bang Komar dan siap mencekiknya. Mata Bang Komar melotot saat deru nafas perempuan tersebut terasa panas, lebih panas daripada air panas yang baru matang membuat kulit wajah Bang Komar melepuh kepanasan. Pandangan Bang Komar mulai berkunang dan tak lama kemudian ia pingsan.Jangan cari seramnya, nikmati ceritanya, kalo ga bisa di nikmati silakan kritiknya.
Saya masih belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
di kala malam datang
Horrortentang seorang dukun santet yang mati mengenaskan di amuk massa.