~~ Ayah .... ~~Lina mulai menyadarinya, suara yang barusan itu ialah suara sang Ayah yang terakhir ia dengar 25 tahun yang lalu. Lina mulai bergerak mundur perlahan meninggalkan kedua orang tersebut yang ia pun belum tau siapa mereka.
"Lina, ini Ayah Nak," Langkah Lina terhenti saat Kakek tua itu bangun dan mencoba memberitahu Lina jika ia adalah Ayahnya. Sementara itu, suara di telinga Lina masi saja menggema memintanya untuk meninggalkan sungai.
Lina bingung, dirinya terombang-ambing layaknya kapal yang terhempas ombak di lautan. Tak tau mana yang harus ia dengarkan. Lina terdiam mengingat terus menerus legok suara Ayahnya yang asli. Suara itu masih saja memintanya untuk menjauhi sungai dan lekas pergi. Sang Kakek di tepian sungai pun masih mengaku bahwa ia adalah Ayah Lina. Lina mencoba memejamkan kedua matanya, dirinya kembali mengingat kenangan terakhir bersama sang Ayah.
~~~ Flashback ~~~
Lina P.O.VLangit kelabu di minggu pagi menemani kami yang tengah berlibur. Liburan kali ini begitu menenangkan. Bersamaan dengan Ayah, Ibu dan keluarga Mbah Wiryo termasuk Komar yang baru saja di anggap Anak oleh Mbah Wiryo.
"Ayah boleh aku kesana?" tanyaku sembari menunjuk tempat di bawah pohon pinus yang rindang.
"Silakan Nak, tapi hati-hati ya." Ayah mengingatkanku. "Lin ajak Komar Lin, kamu jangan sendirian," ucap Ayah melanjutkan dan meminta Komar untuk menemaniku.Komar adalah anak angkat Mbah Wiryo yang belum lama ini di temukan di pinggiran jalan tengah terbaring lemas. Badan yang kurus kering dan tertutup debu jalanan, siang malam bergelut dengan pahit dan getirnya kehidupan. Naluri kemanusiaan hadir dalam jiwa Mbah Wiryo dengan senang hati mengajak Komar untuk tinggal di rumahnya menjadi Kakak bagi Rina sekaligus menjaga Mbah Ayu ketika sang suami pergi ke Kota.
"Abang bisa bantu aku mengambil pinus itu?" pintaku kepada Bang Komar yang sudah kuanggap sebagai Kakakku.
Bang Komar tersenyum menampakan gigi putihnya dengan sedikit senyuman manis dan menganggukan kepala menandakan setuju.
Aku menunggu di bawah, memperhatikan Bang Komar yang berusaha memanjat, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibirnya. Pemuda pendiam yang tak banyak bicara namun jiwa kepeduliaan yang amat tinggi.
Tak lama kemudian Ayah datang membawa camilan, berniat ingin memberi kepada kami yang sedang sibuk, raut wajah Ayah terlihat kebingungan.
"Lin kalian ngapain?" tanya Ayah yang mulai bingung melihat Bang Komar memanjat pohon pinus, padahal di bawah pun banyak pinus yang berserakan di tanah.
"Ini Yah lagi minta tolong Bang Komar buat ngambilin pinus yang ada diatas," jawabku terkekeh sambil menutup mulutku yang tengah tertawa.
Ayah menepuk jidat melihat kelakuan Lina yang jahil kepada Bang Komar.
"Mar turun sini, cepat" pinta Ayah. Ayah memandangiku yang tengah cekikikan, merah pipiku bersemu menahan tawa yang tak kunjung berhenti.
Bang Komar masih dalam mimik muka yang sama tak ada dendam ataupun marah kepadaku ia hanya merasa linglung dan menatap pinus yang berada di bawah tanah. Mungkin ia sedang berpikir, 'untuk apa aku memanjat?'Ayah meminta kami untuk duduk di bawah pohon pinus beralaskan tikar kecil dan sedikit makanan ringan mengajak kami berbincang santai.
"Mar, berapa umurmu? tanya Ayah penasaran tentang Bang Komar.
Bang Komar terdiam tak menjawab apa yang Ayah tanyakan. Ayah menarik napasnya mencoba mengerti tentang perasaan yang kini Bang Komar alami. Ayah memberi senyum kepada Bang Komar, mengelus kepalanya dan memberi sedikit kecupan kecil di kepala Bang Komar. Aku hanya diam memandanginya. Mataku mulai berkaca melihat pemandangan ini, aku hanya berpikir bagaimana jika aku berada pada posisi Bang Komar."Mar, Ayah ingin kalian berdua saling menjaga. Ayah meminta tolong kepadamu untuk menjaga Lina, Komar bisa kan?" tutur Ayah menjelaskan serta meminta kepada Bang Komar agar menjagaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
di kala malam datang
Terrortentang seorang dukun santet yang mati mengenaskan di amuk massa.