part 6

210 10 0
                                    


~~ Tumbal Selanjutnya ~~

Tiga hari setelah kematian Mbah Wiryo. Lina duduk di teras depan dan terus menerus berpikir tentang apa yang sudah terjadi beberapa hari lalu. Ingatan di masa lalunya kembali hadir dalam kehidupannya. Lina masi menunggu kedatangan Bang Komar yang belum kunjung kembali ke rumah sudah tiga hari ini. Ia memandangi sebuah lukisan pegunungan yang pernah di lukis oleh sang Ayah. Lukisan itu menggambarkan asri dan indahnya pegunungan dan sebuah gubuk kecil berdiri tak jauh dari gunung tersebut.
Ayah pernah berkata tentang lukisan ini, 'suatu saat nanti kita akan kesini Lin'. Sambil menunjuk-nujuk gubuk kecil tersebut.

Lina terdiam, matanya memandangi setiap sudut rumahnya, sepi, hening, tak ada suara. Lina mulai teringat akan Rina, satu-satunya keluarga yang ia miliki yang kini tengah berada di kota dan sudah 10 tahun ia tak kembali karena masalahnya dengan Mbah Wiryo, Ayahnya.

"Bagaimana kabar Rina ya? Aku rindu." ungkapnya.

~~~~~~~~

Matahari pagi menyapa Rina yang baru saja membuka matanya. Suasana hiruk pikuk kota yang ramai dan gaduh tak elak membangunkan Rina yang masih bergelut dalam mimpinya.

"Apa enaknya kerja disini, percuma! Tak layak disebut kantor!" gerutunya.

Tinggal di sebuah ruko pinggiran jalan raya bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk wanita muda seusia Rina. Saat para sahabatnya bekerja pada perkantoran gedung tinggi sementara ia hanya sebuah ruko pinggiran jalan yang sangat bising ketika pagi datang.

"Haduhhhhhh ini lemari kenapa si! Segala pake susah di buka lagi, gue tendang juga nih," ungkapnya mulai kesal saat lemari baju miliknya susah untuk dibuka.

"Brukk"

Suara hantaman kaki Lina bersarang ke knop lemari bajunya, ia mulai kesal karena acap kali lemari yang ia gunakan selalu saja bermasalah. Pernah suatu waktu lemari milik Rina di bobol pencuri, untung saja Rina tak pernah meletakan barang berharga miliknya melainkan sebuah cincin pemberian sang Ibu sebelum melepasnya pergi ke Kota. Mungkin itu adalah terakhir kalinya Rina berjumpa dengan sang Ibu, pasalnya tiga hari setelah kepergian Rina bekerja ke Kota sang Ibu menghembuskan nafas terakhirnya.

Selembar kertas berdebu yang usang terjatuh dari atas lemari bajunya, Rina menoleh sebentar lalu meninggalkan kertas tersebur dan berlalu pergi untuk mandi.

"Dug dug dug"

Suara gedoran Rolling Door ruko terdengar dengan keras mengangetkan Rina yang tengah berjalan ke kamar mandi.

"Haduh siapa si pagi-pagi gedor-gedor! Ga tau ini masi pagi ya!" sulutnya kesal.

"Dug dug dug"

Suara itu semakin keras dan tak berhenti, Rina mulai teriak dari dalam dan berlari ke depan dengan perasaan kesal.

"Siapa si ni! Berisik banget masi pagi juga."

Pintu rolling door di buka, namun tak ada orang di depan. Rina melihat sekeliling, tak ada siapa siapa hanya lalu lalang kendaraan.

"Ah mungkin angin, atau halusinasiku?" ucapnya kebingungan.

Rina memutar badannya dan bergegas ke kamar mandi. Langkahnya terhenti saat pintu kamar mandi tertutup rapat. Terdengar suara air dari dalam kamar mandi. Suara itu semakin jelas nampak terdengar suara orang yang tengah membasuh tubuhnya. Rina terdiam mematung, saat darah kental hitam mengalir dari dalam kamar mandi dan meluap ke lantai tempat ia berdiri. Napas Rina mulai tak karuan, tepat diatas kepala Rina, wanita kecil tengah tergantung lemas dan meneteskan darah hitam. Darah hitam itu menetes ke kepala Rina turun perlahan melewati hidung. Bau anyir darah tak mengenakan itu membuat Rina hampir muntah. Rina mencoba mundur perlahan sambil menengok ke atas, takut-takut jika wanita kecil itu jatuh menimpanya.

"Rina ...." Terdengar suara memanggil namanya. Suara itu mengayun perlahan dan semakin lama semakin sayu, diikuti tangisan yang semakin nyaring.

Gemuruh di dadanya semakin menjadi saat wanita kecil yang tergantung mulai menatapnya tajam. Wajahnya rusak dengan sebelah mata yang sudah bolong, bibir yang robek serta hidung yang sudah separoh hilang dan meneteskan darah kental ke lantai.

Wanita kecil itu mulai bersuara dengan suara yang terdengar serak meminta tolong agar Rina melepaskan ikatan yang menjeratnya.
Tubuh Rina gemetar, mencoba memberanikan dirinya. Tangan Rina mulai menggaet kaki wanita kecil ini. Ditariklah kakinya perlahan namun sayangnya kulitnya mengelupas dan darah berceceran membanjiri tangan Rina.

"Tolong ka tolong!"

Rina mengatur napasnya. Mencoba mencari sesuatu untuk membantu wanita kecil ini namun tak ada bangku atau benda lainnya yang bisa ia gunakan.

"Dug dug dug"

Rina menoleh ke depan, suara gedoran rolling door kembali terdengar keras. Rina mencoba bergerak perlahan. Langkahnya terhalang sesuatu benda. Rina meraba bagian belakangnya mencoba menggeser benda yg menghalangi langkahnya namun tatapan Rina tak lepas dari wanita kecil yang semakin lama turun perlahan ke lantai. Tangan Rina masi sibuk menggeser benda berat tersebut. Rina menarik napasnya saat benda yang ia sentuh terasa lembek dan berair, ia menarik benda tersebut yang ternyata sebuah usus dari dalam perut seorang pria yang sudah berlumuran darah yang menghalangi langkahnya.

"Aaaaaaa" Rina berteriak dan berlari ke arah rolling door membuka pintu tersebut dengan cepat. Tangan yang gemetar membuat Rina kesulitan membuka rolling door yang terkunci. Rina terpojok, wanita yang tergantung kini turun ke lantai, langkah kaki yang terseok-seok darah yang menetes mengikuti jejaknya. Wanita kecil itu menyodorkan sebuah kertas lusuh yang berdebu lalu menatap Rina dalam-dalam. Rina memejamkan matanya. Keringat mulai bercucuran Rina tak berani mengambil kertas tersebut. Wanita kecil itu bergerak semakin dekat dan tepat berhenti di depan Rina mengucap sebuah kata, 'Kau yang lanjutkan.' dan wanita kecil itu menghilang dari pandangan.

~~~~~~~~~~~

di kala malam datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang