part 8

155 5 1
                                    


~ Secarik Kertas Lusuh ~

Amru menarik napas panjang saat mayat wanita tersebut menggeletak di depan rumahnya. Jasad yang telah kaku membiru itu minta di kuburkan dengan layak. Amru bergegas ke dalam mengambil perkakas dan menggali tanah dan meletakan jasad tersebut di liang lahat yang telah ia gali sendirian.

Badan Amru mendadak panas dingin, lidahnya kelu tak bisa berucap sepatah katapun. Yang Amru bisa lakukan hanya mengangguk. Jari tangannya mulai keriput. Lekukan di wajahnya terlihat begitu jelas, entah mengapa semuanya berubah. Bahkan rambut hitam Amru memutih tanpa ia sadari. Tampilannya begitu tua, bukan lagi pemuda berusia dua puluh lima tahun. Pikiran Amru terfokus pada ucapan wanita tersebut. Ia kalut tak tau harus berbuat apa. Menemani Rina atau membiarkan ia sendirian pulang ke Kampungnya. Hingga pagi tiba Amru tak tau apa yang harus ia lakukan sekarang.

=======

Kilau mentari mulai menyapa Rina yang masih memejamkan mata. Cahayanya mulai masuk ke dalam celah-celah ventilasi toko. Paras  Rina begitu jelas terlihat kala ia tertidur. Tak ada raut kesedihan ataupun kepayahan. Yang terlihat hanya wajah anggunnya seorang gadis tanpa balutan make-up yang mengelilinginya.

"Hmm sudah pagi lagi," ucapnya singkat kala paparan sinar mengarah ke wajahnya.

Rina bergegas bangun dan cepat ke kamar mandi. Sebuah rutinitas yang membosankan bagi pekerja toko sepertinya. Bangun, mandi, prepare, sarapan baru memulai berjaga. Namun pagi ini aktivitas Rina berbeda. Rina tak mau mandi. Ia dengan cepat mengambil gawainya dan mencari nama, 'Amru'.

"Tumben Amru ga berisik, biasanya paling bawel kalo jam segini aku belum kasih kabar," gerutu Rina sambil tersenyum. Tanpa sadar Rina mulai kehilangan alarm setianya.

"Eh kok aku jadi mikirin Amru," ucapnya sendirian. "ah udah ah, cari sarapan dulu, ga usah mandi, masih cantik kok."

Rina membuka pintu toko dan bergegas keluar.

"Rina ...." terdengar suara dari dalam memanggilnya.

Langkah Rina terhenti. Kedua alisnya di angkat seakan-akan mendengar sesuatu. Nampaknya Rina mulai peka terhadap sesuatu yang tak bisa orang lain lihat. Namun sayangngya Rina cuek tak memikirkan hal tersebut. Lantas ia tetap berjalan mencari sarapan.

"Pagi ini sarapan apa ya?" tanyanya dalam hati.
"Bubur cocok Rin."
" Ah iya bubur, betul tuh ide kamu." Rina menoleh ke samping. Bermaksud setuju dengan ucapan barusan. Namun nihil tak ada satupun orang di sebelahnya. Rina terdiam. Dirinya masih belum percaya tentang hal yang terjadi. Lantas ia pergi ke tukang bubur dan tak mau mengambil pusing.

"Makan bubur Rin," sapa Anton dan duduk membelakangi Rina.
"Hehe iya ni Ton," jawab Rina tanpa menoleh.
"Amru kan sakit Rin, kamu ga tengok?"
"Iya Ton, sejak kapan?" Rina memutar badannya dan sangat penasaran tentang kabar Amru dari Anton. Namun Anton menghilang tak ada di tempat.
"Kemana Anton?" Rina mendelikan matanya, perlahan menatap kanan dan kiri tepian jalan. Sepi tak ada orang. Rina menarik napasnya perlahan mencoba menenangkan dirinya dan memejamkan matanya dan berharap itu benar-benar Anton.

"Rin, ngapain disitu." suara Anton mengagetkan Rina yang tengah bingung.
"Anton!" gerutu Rina kesal dan memukul pelan badan Anton.
Anton bingung dengan tingkah Rina pagi ini. Memukulnya tanpa ba-bi-bu terlebih dahulu.

"Kamu tuh, bisa ga si gak ngagetin!" sungut Rina dengan nada tinggi.
"Apaan si Rin. Siapa yang ngagetin?" tanya Anton kebingungan.
Rina terdiam, tak mau memperpanjang perihal yang baru saja terjadi. Ia mulai menyadarinya jika yang tadi bukanlah Anton.

"Dih malah diem, aneh!"  Anton bergegas pergi meninggalkan Rina yang tertunduk malu.

Rina benar-benar bingung. Apa yang tengah terjadi pada dirinya. Semua keadaan berubah seketika, ia mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Bergegaslah ia kembali ke dalam tokonya menguncinya rapat-rapat dan dengan cepat ia berdiri di hadapan cermin. Ia menatap dirinya begitu lama, memandang setiap lekuk tubuhnya, tak ada keanehan yang terjadi. Rina tersentak kaget saat bayangan dirinya di cermin mengetuk cermin tersebut, mengambil sebuah pisau dan memotong jari telunjuknya menuliskan kata dengan darah yang menetes, 'Lanjutkanlah.' kata yang di tuliskan itu sama seperti ucapan wanita kecil yang pernah turun menemuinya. Rina mengerti maksud dari, 'secarik kertas lusuh,' tersebut. Bergegaslah ia merapihkan barang dan bersiap berangkat ke Kampung Barata.
=========

di kala malam datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang