part 3

330 10 0
                                    


Malam semakin larut, Lina mulai kelelahan dan tetap duduk di tepian ranjang sambil memperhatikan jasad wanita tersebut. Matanya bergerak kesana kemari menandakan kebingungan dan penasaran terhadap wanita dan lukisan yang dulu pernah di buat. Lina mencoba mengingat dimana lukisan itu di simpan oleh kedua orangtuanya.

Sinar merah menyala di bagian belakang rumah kosong tersebut, Lina menoleh ke belakang dan bergerak perlahan menyambanginya.

Tap tap tap ....
Langkahnya terhenti saat pintu rumah kosong itu tertutup rapat. Ia kembali menatap jasad wanita yang masi tetap pada posisinya. Sinar merah kembali menyala dari belakang rumah tersebut. Rasa penasarannya semakin menjadi saat terdengar suara anak kecil tertawa cekikikan dari arah belakang.

Lina Lina Lina ....
Terdengar sayup-sayup suara wanita memanggilnya, Lina terdiam mencari di mana arah suara tersebut. Mata Lina menatap tiap sudut ruangan yang gelap tak terlihat sedikitpun cahaya kecuali sinar merah yang semakin sering menyala.

"Aku mengenal suara itu, suara itu pernah kudengar," gumam Lina dalam hati.
"Tapi siapa?" Beribu rasa menerkam dirinya. Dalam kekalutan dan kebingungan Lina masih penasaran dengan suara-suara tersebut.

Tok Tok Tok .....
Lina kembali mendengar suara ketukan tembok yang di ketuk berulang kali. Suara itu tak asing bagi dirinya. Apa yang Lina tengah alami di malam ini begitu akrab dengan kesehariannya di masa lalu. Sinar merah, ketukan pintu, suara yang memanggil namanya tidak asing baginya. Lina mencoba mengingat kejadian sewaktu ia kecil, ingatannya merangsak masuk kembali ke masa lalunya mencoba mengingat kejadian yang pernah ia rasakan dan Lina mulai memejamkan matanya bercerita pada dirinya tentang masa itu.

~ Lina P.O.V ~

Suara ayam jago dengan lantang membunyikan suaranya, membangunkan kami yang masi terlelap dalam gelap. Suara ibu mulai mengayun perlahan di telingaku membisikan kata, 'Ayo sudah pagi, bangun waktunya sholat.' Aku yang malas mencoba membangunkan diriku sendiri yang masih betah dengan hangatnya selimut dan kasur yang hanya beralaskan tikar.

"Lina ayo bangun, kamu di tunggu Mbah Wiryo di depan," Aku terperanjat kaget saat Ibu mengatakan jika Mbah Wiryo sudah bersiap mengajakku ke sawah.

"Mbah sebentar jangan tinggalin Lina," pintaku merengek dan berlari ke dalam bergegas merapihkan diri.
"Iya Nduk," jawab si Mbah
(Nduk adalah sebuah sebutan pengganti nama untuk anak perempuan.)

"Bu aku berangkat dulu, Ibu hati-hati di rumah salam sama Ayah kalau sudah pulang, Lina ga sempet cium pipi Ayah," ucapku dan berlari keluar dengan gembira.
Ibu menundukan kepala menandakan setuju.

Perjalanan ke sawah cukup memakan waktu yang lama hingga pada akhirnya Mbah Wiryo menggendongku.

"Mbah aku sudah besar, jangan gendong Aku," ungkapku padanya. Mbah Wiryo hanya melayangkan senyum dan tetap menggendongku sambil tertawa.
"Mbah .... Turunkan Aku, Aku malu Mbah.
"Udah gapapa Nduk, nanti kamu lelah. Oh iya tadi ada Ayah gak di rumah?" Aku tak menjawab pertanyaan Mbah dan malah membiarkannya mengulang pertanyaanya sampai tiga kali.
Mbah Wiryo mulai berhenti dan menurunkanku dari gendongannya.
"Mbah menyebalkan," Ku pasang wajah cemberut agar Mbah mengerti perasaanku.
"Iyaa Mbah minta maaf ya, coba jawab pertanyaan Mbah yang tadi?" ucapnya mengulangi.

"Ayah belum pulang sudah tiga hari."

Mbah Wiryo bertanya lagi,
"Kemana Ayahmu?"
"Aku tak tahu, Ayah pergi malam hari dan Aku tak sempat bertanya, yang aku dengar hanya ucapan, 'Jaga Lina, bila aku belum pulang berlindunglah ke tempat Mbah Wiryo.' itu aja Mbah." Mbah Wiryo menanggukan kepala, seolah-olah ada sesuatu yang di pikirkan olehnya.

Awan mulai menghitam, rintik hujan mulai menetes perlahan. Angin membawa aroma hujan kali ini begitu halus dan sangat halus hingga memejamkan kedua mataku dan mencoba beristirahat sejenak untuk melepas lelah dan berteduh. Mbah Wiryo mengelus mahkota hitamku. Kurasakan kasar kulit tangannya yang menyentuh pipiku, ia tak henti-henti mendekapku erat. Rasa kasih sayangnya terhadap cucu tercintanya.
Belaian lembut dari tangan kasarnya mampu membuat ku terpejam dengan lelapnya. Hingar bingar suara hujan yang semakin deras malah membuatku nyaman dibuatnya. Hingga pada akhirnya Aku terbangun dan berteriak,

"Mbah ...." teriakan ku memekikan telinga dan membuat Mbah Wiryo yang sedang berada di depan berlari dengan cepat dan menyambangiku.
"Ada apa Nduk ada apa! Atur napasmu Nduk atur napasmu!" Mbah wiryo memintaku untuk mengatur napas dan tetap tenang.
Mataku melotot tak bisa kukedipkan sama sekali, kelopak mataku memaksa untuk membuka mata ini selebar-lebarnya. Aku menjerit menahan sakit,
"Mbah kelopak mataku ada yang menariknya keatas," Mbah Wiryo mengambil air mendoakan air tersebut dan menyipratkan air itu kepadaku. Bagian kelopak mataku meneteskan darah merah yang mulai mengucur perlahan ke pipiku. Mbah Wiryo mendekapku erat dan mencoba membersihkan darah yang mengucur ini. Perih kurasakan sakitnya, Aku lemas Aku lelah dan Aku payah.

"Nduk ayuk kita pulang." Mbah Wiryo mengajakku pulang dan melangkah lebih cepat dari biasanya.

"Mbah ada apa, kenapa Mbah berjalan dengan cepat?" tanyaku yang mulai merasakan detak jantung Mbah Wiryo yang berdetak dengan cepat.
"Tidak apa-apa Nduk, udah kamu tidur aja ya di sambil Mbah gendong." Aku hanya bisa diam dan menganggukan kepala.

Sesampainya dirumah.

"Rinaaa, tolong jaga Lina," panggil Mbahku kepada anak bungsunya untuk menjagaku.
Mbah Wiryo berlari ke arah rumahku dan memanggil para warga lainnya untuk kesana. Aku hanya memandang dari kejauhan dan bertanya-tanya, 'Apa yang sedang terjadi.'

"Lina kemari," Panggil Mbah Ayu istri dari Mbah Wiryo.
"Sini Mbah Ayu punya sesuatu untuk kamu, ini kamu lihat baguskan lukisannya," Aku tersenyum memandangi lukisan tersebut dan dengan senang hati menerimanya.

"Mbah ini siapa?" tanyaku ke Mbah Ayu.
"Itu kamu, bagus kan lukisan Mbahmu." Aku menganggukan kepala dan memeluknya erat.

Tak lama kemudian Mbah Wiryo datang dengan senyumnya, memanggil Mbah Ayu serta meminta Mba Rina untuk menemaniku.
Mbah Ayu kembali mengahadapku, memeluk ku erat mencoba menenangkan dirinya dipelukanku, memberi sebuah pengertian dengan sebuah isyarat serta memberi senyum dan tetesan tangisan yang mendalam. Sementara itu Mbah Wiryo berdiri di pojokan pintu menjenggut rambut putihnya memendam kekesalan yang sangat jelas terlihat sserta membisikan kata, 'Ibu kamu sudah meninggal,'

Mataku melotot tak terima tentang berita yang kudengar, Mbah Ayu melarangku untuk melihat jasad Ibu yang sudah tak berbentuk, ia memintaku untuk tetap tenang di rumahnya. Aku yang masi berumur 5 tahun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa mengingat wajah Ibuku terakhir sebelum aku berangkat bersama Mbah Wiryo. Wajah Ibuku begitu panik tapi ia masih memberikan sebuah senyuman mendalam penuh arti.

** Flashback Off ***

Lina memutar arah kembali berlari ke ranjang tempat ia melihat jasad seorang wanita yang tengah terbujur kaku. Wanita di tepian ranjang itu menghilang tak ada jejak, hanya menyisakan sebuah cincin yang mirip dengan cincin yang Lina pakai.
Tempat yang ia jejaki saat ini ialah rumah semasa ia kecil, wajarlah bila Lina merasa jika semua ini tak asing bagi dirinya.

Ternyata Jasad wanita tersebut ialah Ibunya.

di kala malam datangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang