Dua-Alasan

761 48 17
                                    

Tangan Atha bergerak dengan sendirinya ketika jam beker di kamarnya berbunyi memekakan telinga. Tanpa membuka mata, Atha menarik selimut hingga menutupi seluruh kepalanya. Sepuluh menit kemudian, bunyi alarm berpindah ke ponselnya. Masih dengan menutup matanya, Atha menepuk sisi tubuhnya kemudian beralih ke atas nakas saat tidak menemukan keberadaan ponselnya.

"Arrrgghhhhh!!" Atha terpaksa membuka mata ketika tidak bisa menemukan dimana ponselnya, sementara bunyi alarm masih terus memekakan telinga.

Atha mengacak rambutnya kesal saat dia menemukan ponselnya ada di kolong ranjang. "Bagaimana kamu bisa sampai sini?" Atha bertanya pada ponselnya seperti orang gila.

Jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Atha bergegas ke kamar mandi kemudian menunaikan kewajibannya. Dia berjalan dengan malas menuruni anak tangga menuju pintu depan. Tadi Raafi memberitahukan jika dirinya sudah berada di halaman Atha untuk mengajak Atha lari pagi. Dari keempat temannya, hanya Raafi yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahnya. Bedanya jika Atha berada di komplek perumahan sederhana, Raafi berada di komplek perumahan elit. Dua komplek perumahan yang kebetulan berdiri bersisian.

"Ngapain sih pake acara jemput segala, toh nanti juga kita bakalan lari memutari lapangan di sekolah." Atha menggerutu kesal, tapi tetap menggerakan kakinya untuk berlari menyejajari Raafi.

Raafi terkekeh. "Itung-itung pemanasan, Tha."

"Kalian kenapa nggak nginep sih semalam, padahal lagi seru-serunya," kesal Atha.

Rasa kesal Atha kembali muncul saat mengingat kejadian semalam dimana teman-temannya yang biasanya menginap tiba-tiba pulang begitu saja. Padahal mereka sedang membahas mengenai masa depan mereka dan juga recana untuk lolos dari hukuman esok hari.

"Ya kali Tha kita nggak pulang. Tuh bodyguard lo udah melotot terus ke kami berempat. Emang lo nggak ngrasa apa?" ujar Raafi.

Atha mengerutkan dahinya. "Bodyguard? Siapa?"

"Calon suami lo lah. Memangnya lo nggak ngerasa kalo tatapan matanya itu setajam silet ke kita berempat."

Semalam Rivangga dan Cakra memang ikut nimbrung acara kemping Atha bersama teman-temannya. Namun meskipun nimbrung, Cakra memposisikan duduknya bersama Rivangga jauh dari teman-teman Atha terutama Mauza. Bagaimana pun Cakra tidak mau jika sahabatnya menjadi objek fantasi oleh keponakannya yang agak gesrek itu.

"Lo yakin mau nikah sama dia? Kita baru lulus SMA loh, Tha. Memangnya lo nggak pengin kuliah? Katanya lo mau kuliah ngambil teknik sipil murni biar lo bisa bikin perusahaan kontraktor."

Atha memang memiliki cita-cita untuk membangun perusahaan kontraktor sipil semenjak dia melakukan Praktek Kerja Lapangan di sebuah perusahaan kontraktor. Di sana Atha mempelajari bagaimana bisa mengikuti tender dan juga mempelajari proses penagihannya. Atha berfikir jika semua proses itu sangat kolmpleks dan butuh perjuangan daripada jika dia bekerja sebagiai karyawan perusahaan biasa.

"Belum yakinlah, kenal juga enggak." Atha menjawab cepat. "Lagi pula lo tahu sendiri, gue aja baru berumur 18 tahun bulan depan."

"Lah terus, lo kan juga nggak nolak," sergah Raafi, "tapi bikin curiga nggak sih kalo pria seumuran bang Aga mau jadiin lo istri. Umur kalian berjarak 10 tahun loh."

"Eh iya." Atha baru sadar. "Dia bukan pedofil 'kan ya?" Atha bergidik ngeri membayangkannya.

"Dia pedofil kalo beneran jadiin lo istri, Tha," sergah Raafi.

Sebenarnya bukan cuma Raafi, tapi ketiga sahabatnya juga berfikiran demikian. Rivangga adalah pria dewasa, tampan, keren dan juga mapan. Namun, kenapa pilihannya jatuh pada sahabat perempuan mereka satu-satunya yang serampangan luar biasa.

Dear Atha (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang