Setelah mencuci wajahnya di kamar mandi dan meminjam kacamata anti radiasi milik Yazid—yang hanya dipakai oleh pemuda itu saat berkencan dengan laptop— untuk menutupi bekas tangis, Atha berjalan santai menuju Aula. Sampai Aula yang sudah dipenuhi teman-temannya yang kemarin ikut berpawai, Atha bergabung dengan barisan yang terdapat keempat sahabatnya.
Beberapa menit kemudian, Pak Jaja selaku guru konseling berdiri di mimbar dengan membawa toa. Dia menatap tajam seluruh siswa yang sudah berbaris rapi.
"Saya tidak akan basa-basi. Saya yakin kalian tahu alasan kalian dikumpulkan di sini, kan?" Pak Jaja berhenti berbicara, tapi tidak ada jawaban dari kumpulan siswa di hadapannya.
"Kenapa tidak ada yang menjawab? Apa kalian kehabisan suara setelah kemarin berteriak di jalanan?"
"Bapak butuh jawaban kami ya?" Itu suara Atha. Yang langsung membuat tatapan tajam Pak Jaja terarah padanya.
"Oh, hanya satu siswa saja yang suaranya masih normal ya?"
"Tidak, Pak," jawab seluruh siswa di Aula kompak.
Pak Jaja menghela napas. Lagi-lagi karena Atha yang bersuara, teman-temannya baru ikut angkat suara.
"Jadi kalian pasti sudah tahu alasan kalian dikumpulkan di sini 'kan?"
"Tahu, Pak." Semuanya kembali menjawab kompak.
"Apa kalian juga tahu akibat dari perbuatan kalian bagi image sekolah kita di muka umum?"
"Sekolah kita semakin terkenal, Pak." Lagi-lagi hanya Atha yang menjawab dengan lantang sementara teman-temannya memilih diam.
"Iya, terkenal. Namun dalam hal negatif. Perbuatan kalian kemarin sudah mencoreng nama baik sekolah ini." Pak Jaja berteriak murka, suaranya langsung mengema memekakan telinga.
"Apa kalian tahu jika kemarin pihak kepolisian menyambangi sekolah kita untuk memberikan surat peringatan atas apa yang kalian perbuat di lampu merah simpang lima? Apa kalian juga tahu jika banyak orang tua murid yang melayangkan protes dan mengancam akan menarik anak-anak mereka dan memindahkan ke sekolah lain? Dan rata-rata dari mereka adalah orang tua dari kelas akselerasi."
"Tapi gara-gara kemarin, saham sekolah ini juga naik 'kan, Pak?" Itu adalah suara Yazid. Hacker andalan jurusan TIK itu sempat mengintip ke dalam sistem sekolah.
Ucapan Yazid semakin membuat pak Jaja murka. "Sekarang katakan, siapa dalang dari perbuatan kalian?"
Tanpa menunggu lama, Atha, Yazid, Mauza, Raafi dan Satria mengangkat tangan. Kemudian disusul anak-anak yang lain.
"Kami semua Pak," jawab kompak para siswa.
Pak Jaja mendengkus, dia langsung paham siapa yang mempelopori kegiatan kemarin. Pasti itu adalah Atha dan keempat temannya. Siswa langganan pembuat masalah.
"Mauza, Yazid, Raafi, Atha dan Satria langsung ke ruangan kepala sekolah setelah ini. Kalian harus mempertanggung jawabkan apa yang kalian perbuat. Sementara yang lain akan dihukum berlari mengelilingi sekolah dua puluh kali."
Terdengar protes dari seluruh siswa, kecuali Atha dan keempat sahabatnya. Karena mereka sudah tahu apa yang akan menimpa mereka.
"Sekarang kalian bubar. Siswa yang saya sebutkan langsung ke ruangan kepala sekolah dan siswa yang lain langsung melaksanakan hukuman yang akan diawasi langsung oleh Pak Andi dan Pak Gian ." Andi dan Gian adalah nama guru olah raga di SMK Terknik Svarga.
Dengan langkah santai tanpa beban, Atha dan keempat temannya melangkah menuju ruang kepala sekolah. Terbilang tiga kali dengan sekarang mereka sudah menginjakkan kalinya di sana. Namun, kali ini bukan karena prestasi mereka, tapi karena ulah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atha (On Hold)
RomansaAtha tidak pernah menyangka jika hidupnya akan berubah drastis setelah pengumuman kelulusan sekolahnya. Dia mendapatkan sebuah kejutan saat dia membuka pintu rumahnya sepulang dari perayaan kelulusan dengan teman-temanya. Di sana, di ruang tamu, dia...