Sepuluh-Penolakan Tidak Terduga

185 31 13
                                    

Sekali lagi dalam beberapa menit terakhir, Atha menatap pintu lobi Svarga Building dari dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu lobi yang dikendarai Mauza. Sekali lagi pula dia mendapatkan dorongan bahu dari salah satu sahabatnya yang duduk di kursi belakangnya.

Entah Atha harus bersyukur atau ber-istighfar banyak-banyak karena memiliki sahabat seperti mereka berempat. Karena dia yang kembali lupa—sebenarnya kali ini dia sengaja melupa—untuk memberitahu Rivangga mengenai kepergiannya ke Jogja besok, para sahabatnya berinisiatif untuk mengantarkan Atha bertemu langsung dengan calon suaminya.

Atha pikir karena dia tidak akan lama di Jogja, tepatnya hanya satu sampai dua minggu, dia tidak perlu memberitahu Rivangga. Toh biasanya mereka juga tidak saling berjumpa dalam kurun waktu yang sama. Selain itu, dia juga malas untuk berdebat dengan pria dewasa super keras kepala itu.

"Mau sampai kapan kita nunggu di sini?" tanya Mauza entah yang keberapa kalinya.

"Nggak usah aja deh. Biar gue kirim pesan nanti," tolak Atha mentah-mentah.

"Kami nggak akan percaya dengan omongan lo itu. Karena lo udah mengatakan hal yang sama berulang kali sejak dua minggu yang lalu," sergah Raafi.

Atha langsung menoleh ke belakang tempat Raafi, Satria dan Yazid berada. "Gue janji nggak akan lupa lagi. Tapi kita pulang aja ya ... ya ...," ucap Atha penuh permohonan.

"Nggak percaya gue," sahut Satria.

"Gue juga," sambung Yazid.

"Ihhh gue serius." Atha menunjuk lambang peace dengan telunjuk dan jari tengah. "Gue janji kali ini."

"Lo mau turun sendiri atau mereka yang nurunin lo secara paksa?" tawar Mauza tiba-tiba. Sontak Atha melotot dibuatnya. Apalagi saat melihat ketiga sahabatnya yang duduk di kursi belakang langsung sigap turun dari mobil.

Dan sebelum Atha sempat menekan tombol kunci pintu, pintu sudah dibuka lebar oleh Yazid.

"Turun!" perintah Yazid tegas.

Atha melemparkan tatapan memohon belas kasih pada Yazid. "Jangan dong ... gue nggak mau ketemu Kak Gaga sekarang. Belum siap mental gue," pinta Atha dengan nada memelas.

"Turun atau gue telpon Bang Aga sekarang!" ancam Mauza.

"Kayak lo punya nomernya Kak Gaga aja sok mau nelpon dia," cibir Atha.

"Kami semua punya nomernya Bang Aga, Tha," sergah Satria, "soalnya dia selalu neror kami dengan berbagai pesan saat lo bareng kami."

Kedua netra Atha membulat kaget. "Serius?" tanyanya tidak percaya dan diangguki oleh semua sahabatnya.

"Ih, kok gue jadi ngeri," ujar Atha.

"Telat kalo lo ngeri sekarang. Dari kemaren kemana aja lo," sergah Mauza. Lalu didorongnya bahu sang sahabat agar keluar dari mobil. "Keluar!"

Tahu kalau dirinya tidak akan menang melawan keempat sahabatnya, Atha akhirnya menyerah dan keluar dari mobil dengan terpaksa.

"Kalian tega banget sumpah," ucap Atha dengan bibir maju beberapa senti-tanda bahwa dia sebal.

Mengabaikan Atha yang terus menggerutu, Raafi menggantikan posisinya duduk di kursi samping pengemudi, sementara Yazid dan Satria kembali ke tempatnya semula.

"Inget, lo udah salah, jadi jangan nyolot pas ngomong sama Bang Aga," peringat Raafi setelah dia menutup pintu mobil dan membuka kacanya.

Atha menghentakkan kakinya kesal. "Kalian sahabat gue bukan sih. Tega banget ngelakuin ini sama gue," protes Atha, masih dengan bibir yang mengerucut sebal.

Dear Atha (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang