Lima Belas-Prahara

183 25 2
                                    

Atha benci Rivangga, sangat membencinya hingga dia tidak sudi berbagi udara dalam satu ruangan apa lagi melihatnya. Jika saja bukan karena Bundanya, dia lebih memilih mengungsi ke rumah Raafi dari pada bertemu dengan Rivangga yang tinggal di rumahnya sejak kematian ayahnya.

Meski bundanya berkali-kali menegur sikapnya pada Rivangga yang notabene adalah suaminya sendiri—yang tidak pernah diakui olehnya, Atha tidak pernah peduli. Dia lebih memilih pergi pagi-pagi sekali dan pulang sebelum Rivangga pulang bekerja lalu mengunci diri di dalam kamarnya hingga pagi kembali datang. Siklus itu terus berputar selama beberapa minggu.

Pagi ini tidak seperti biasanya, Atha bangun begitu terlambat. Meski begitu, dia memilih bertahan di dalam kamarnya menunggu Rivangga berangkat kerja. Tapi sepertinya tubuhnya menginginkan hal lain, karena setelah Atha menekan keinginannya untuk buang air selama hampir satu jam, dia akhirnya menyerah.

Bergegas keluar kamar dan tidak lupa mengecek keadaan sekitar, Atha berjalan mengendap-endap menuju kamar mandi yang letaknya di samping dapur. Tapi sialnya, kamar mandi saat itu sedang digunakan. Dan karena keadaanya yang terjepit, Atha akhirnya menggedor pintu kamar mandi dengan keras.

"Yang di dalam cepetan keluar, gue mau pake kamar mandinya!" ucap Atha sarat akan perintah. "Keluar!"

Terdengar bunyi kunci pintu yang dibuka, sesaat setelahnya munculah seseorang dari baliknya.

Detik pertama Atha begitu terkejut melihat penampilan orang itu yang tidak lain adalah Rivangga. Bukan karena tubuh pria itu yang masih basah, hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang dan juga baju yang tersampir di bahunya, tapi tampilan pria itu sendiri  yang berbeda dari biasanya.

Tubuh Rivangga jauh lebih kurus dari terakhir kali Atha melihatnya beberapa minggu yang lalu—untuk tepatnya dia lupa—wajah tirus dan yang terlihat menonjol adalah kantung matanya yang menghitam. Seolah sosok sempurna Rivangga yang biasanya entah ada dimana.

"Atha—"

Disebut namanya, kesadaran Atha langsung kembali dari keterkejutannya. Tanpa permisi, dia mendorong tubuh Rivangga menjauh dari hadapannya kemudian masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu. Menolak segala perasaan aneh yang mengganggunya, Atha memilih fokus untuk menuntaskan segala keperluannya di dalam sana.

Saat keluar dari kamar mandi, Atha dikejutkan dengan keberadaan Rivangga yang berdiri menunggunya. Membuatnya refleks kembali menutup pintu. Sayangnya dia kalah cepat karena Rivangga berhasil meraih pintu dan menahannya untuk tidak tertutup.

"Kita harus bicara," ucap Rivangga penuh penekanan.

Atha tidak menjawab bahkan tidak sudi untuk menatap ke arah pria itu. Dia masih berusaha menarik pintu agar tertutup.

"Saya mohon," pinta Rivangga penuh permohonan pada akhirnya.

Atha masih tidak menjawab, tapi dia melepaskan pegangan pada pintu dan keluar dari kamar mandi. Lalu di saat yang tepat, dia langsung berlari menuju kamarnya dan langsung mengunci pintunya.

"Atha, kita harus bicara!" ucap Rivangga sembari menggedor pintu kamar Atha.

"Menghindar tidak akan membuat segalanya lebih baik. Kita butuh bicara." Rivangga tidak mau menyerah.

"Buka pintunya, Atha. Jangan sampai saya kehabisan kesabaran dan mendobrak pintunya," ancam Rivangga.

Atha menulikan pendengarannya. Meraih headphone di meja lalu memutar musik di ponselnya dengan volume maksimal. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menutup matanya.

Hampir sepuluh menit Rivangga menggedor pintu kamar Atha, akhirnya pria menyerah saat tak ada sedikitpun respon dari gadis itu. Jika saja saat ini mereka bukan berada di rumah Atha, dia tidak akan ragu mendobrak pintu dan menkonfrontasi gadis itu secara langsung.

Dear Atha (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang