Sembilan-Bimbang

206 36 35
                                    

Atha menatap pantulan dirinya di dalam cermin yang mengenakan overall di atas lutut berwarna hitam dan kaos pendek berwarna putih di dalamnya. Dengan rambut panjangnya yang tergerai, tak lupa memoleskan sedikit liptint berwarna pink cerah, Atha merasa bahwa dirinya begitu cantik dan imut di saat yang sama.

 Dengan rambut panjangnya yang tergerai, tak lupa memoleskan sedikit liptint berwarna pink cerah, Atha merasa bahwa dirinya begitu cantik dan imut di saat yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Nggak heran kan kalau Kak Gaga bucin ke aku," ujar Atha jumawa pada bayangannya sendiri.

Dia mengibaskan rambutnya secara dramatis, kemudian terkekeh lucu karena tingkahnya sendiri. Dia meraih sling bag dan memakainya kemudian berjalan keluar kamar dengan langkah ceria.

Di ruang tamu, Atha menemukan Ayahnya tengah menonton televisi dengan hikmad. Setiap kali dia melihat sang ayah yang bobot tubuhnya makin lama makin kecil akibat sakit yang diderita, dia merasakan seperti ada sesuatu yang menyengat hatinya. Andai bisa dilakukan, Atha akan dengan senang hati menggantikan kesakitan ayahnya.

Sebulir air mata meluncur dari sudut matanya saat dilihatnya ayahnya meringis sakit sembari memegangi perut atasnya. Selama ini sang ayah selalu menutupi segala rasa sakit itu darinya, tapi adakalanya Atha bisa menjumpai ayahnya yang kesakitan seperti saat ini. Meski setelahnya Atha harus menahan segala sesak di dada dan selalu menampilkan keceriaannya yang biasanya.

Setelah dilihatnya kondisi ayahnya yang lebih baik, Atha segera menghapus air matanya dan melengkungkan senyum lebarnya. Dengan gerakan heboh khas dirinya, dia menghampiri sang ayah kemudian memeluk lengan yang tak lagi seberisi biasanya milik pria yang menjadi cinta pertamanya.

"Ayah, Atha mau ke mall bareng Raafi, boleh ya?" pinta Atha dengan nada manja.

Budiman menatap putrinya dengan sorot datar. "Memangnya kalau Ayah larang, kamu tidak jadi pergi?"

Atha langsung menggeleng. "Pergi dong, kan nanti minta tolong Raafi suruh rayu Ayah. Hehehe ...."

"Intinya Ayah tidak boleh melarang, kan?"

Atha mengangguk. "Iya dong. Soalnya Atha mau cari perlengkapan yang kurang buat ke Jogja."

"Kamu yakin mau kuliah di Jogja, nduk?" tanya Tiwi yang baru saja muncul dari dapur. Dia membawa nampan berisi makanan dan minuman untuk sang suami.

"Bunda mau Atha kuliah di Jakarta saja? Sayang loh Bund beasiswa yang Atha dapet. Dan Bunda mau emang diceramahin Embah Kakung karena dikira bohong?"

Selain Atha dan kedua orang tuanya yang bahagia atas beasiswa yang didapatnya di sebuah universitas bergengsi di kota kelahiran sang Bunda, terdapat orang lain yang jauh lebih bahagia dengan kabar itu. Yaitu kakek dan nenek Atha dari pihak bundanya di Jogja. Apalagi saat Atha sendiri yang meminta ijin pada mbah kakungnya secara langsung untuk tinggal di kediaman beliau yang kebetulan lokasinya tidak jauh dari letak kampus, hanya sekitar 15-20 menit menggunakan sepeda motor.

Bahkan belum juga berada di Jogja, Atha sudah dibelikan motor matic baru dari mbah kakung dan juga renovasi kamar milik bundanya dulu. Membuat Atha semakin bersemangat untuk segera pindah ke sana.

Dear Atha (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang