Colour

1.2K 161 28
                                    

Kenapa jadi deg-degan begini sih aku. Paling juga Rio akan menyuruhku menentukan dimana tempat makan malam yang cocok untuk kami. Aku ajak makan pinggir jalan aja lah. Jangan sampai ada hal-hal romantis yang terjadi diantara kami berdua.

Bagaimana kalau ternyata Rio malah mengajakku fine dining di restoran lengkap dengan lilin-lilinya. Hah aku cuma memakai kemeja panjang dan celana kulot begini. Bagaimana kalau dia ternyata datang dengan setelan jas lengkap? Duh nggak mungkin banget dong kalau aku cuma begini. Idih kenapa aku jadi repot mikir jauh-jauh begini sih?

Ah baiklah dari pada aku pusing mikirin gengsi kalau ternyata Rio ngajakin fine dining, aku akhirnya meminta Bibi di rumah mengirimkan salah satu gaunku ke rumah sakit.

"Dok ada kiriman dari gojek nih, saya yang terima tadi," ucap suster Yanti sambil menyerahkan tas bersi midi dress, clutch, dan higheel merah.

"Makasih banyak sus."

"Ciyee dokter mau ngedate ya?"

"Cuma makan malam kok sus. Ayo sus mulai, siapa pasien pertama saya hari ini."

***

Jam 20.00 tepat aku sudah di parkiran rumahsakit. Aku menelfon Yuki tapi tak kunjung diangkat. Sebal karena sudah lima kali aku menelfonya tanpa jawaban, akhirnya aku putuskan mencarinya ke dalam rumahsakit.

Sejujurnya aku bingung dimana aku harus mencarinya di rumahsakit sebesar ini. Aku teringat penjelasan Rangga soal kewajiban dokter yang tak cuma mengoperasi tapi juga harus visit, dan menerima pasien rawat jalan di ruang poli. Aku menanyakan dimana ruang poli ortopedi dr. Yuki, dan langsung diarahkan oleh securiti rumahsakit.

Di depan ruangan Yuki ada dua orang masih menunggu. Salah satu dari mereka memakai gips di kaki kiri. Gipsnya terpasang dari ujung kaki sampai pangkal paha, hingga kakinya sama sekali tidak bisa ditekuk.

Mengerikan ya pekerjaan Yuki, harus melihat dan menyambungkan kembali tulang yang patah. Di arsitek, bangunan patah mah tinggal ganti rangka, dilas, atau ditambal semen selesai. Lah kalau tulang manusia yang patah, hah tak sanggup aku membayangkanya.

Seorang suster keluar dari ruangan Yuki, kalau tidak salah dia suster Yanti yang menemani Yuki waktu memeriksa Pak Imung dulu.

"Pak Indra Bekti silahkan," suster Yanti memanggil nama pasien. Ternyata keduanya berdiri dan masuk ke ruangan Yuki. Ah berarti yang satunya bukan pasien, nemenin periksa aja ternyata. Syukurlah berarti semakin cepat aku bertemu Yuki.

***

"Sudah bagus pak Indra, ini tibianya sudah tersambung sempurna. Kita bisa lepas gipsnya sekarang," terangku sambil memperlihatkan foto rontgen terakhir kaki kiri Pak Indra.

Aku melepas gips Pak Indra dibantu Suster Yanti. "Setelah ini masih tetep pakai kruk dulu ya pak, sambil latihan ditekuk pelan-pelan. Minggu depan saya lihat lagi progresnya"

"Iya dok, terimakasih banyak dokter Yuki. Maaf ya dok jadi lama ini kontrolnya karena sekalian lepas gips, padahal di depan masih ada pasien yang ngantri."

Aku melirik suster Yanti, karena tadi sebelum Pak Indra masuk suster Yanti berkata bahwa Pak Indra pasien terakhir hari ini.

"Dok kami pamit dulu, terimakasih banyak," istri cantik Pak Indra berpamitan sambil memapah Pak Indra. Pasangan muda yang sangat menyenangkan Pak Indra dan istrinya ini.

"Sus, katanya Pak Indra terakhir tadi?" tanyaku gelisah karena sekarang sudah jam setengah sembilan. Rio pasti sudah menungguku.

"Bukan pasien kok dok yang nunggu di depan," jawab suster Yanti sambil tersenyum menggodaku.

Bigger HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang