"Dokter juga butuh olahraga kan?" ucap Rio menyemangatiku.
Di sini aku akhirnya, walaupun ini gym yang berbeda dengan yang sering aku dan Ryuji datangi dulu tapi semua yang terlihat tetap saja menyakitkan. Bagaimana lagi tempat gym dimana-mana isinya kan sama. Treadmill, lifting, sepeda statis, matras, cermin di sekeliling dinding, dan lain-lainya.
"Mau latihan apa dulu Yuk?" tanya Rio.
"Treadmill aja gimana?"
Aku berusaha menunjukan wajah ceria. Rio pasti akan mulai bertanya jika aku terus-terusan muram. Oke, ini nggak akan jadi seburuk yang aku bayangin. Jangan anggap ini sebagai hal yang mengingatkan tentang Ryuji. Anggap sebaliknya, it's time forget him.
Ini saatnya berdamai dengan diri sendiri. Nggak ada masalah sama gym ini, bahkan sekalipun harus ketemu Ryuji juga nggak akan jadi soal. He's your past, and now look at that. There is a good man standing in front of you. May be he is your present and future too.
Aku memulai treadmill dengan menyumpal telingaku dengan earphone. Memutar musik sekeras mungkin. Berharap semua lagu ceria di playlistku dapat mencegahku mengingat Ryuji. Rio memperhatikanku. Aku mengangkat ponsel ke arahnya menunjukan pesan sedang tak ingin berbicara. Untunglah Rio mengerti.
Rio kemudian berpindah menuju sepeda statis, dan memulai latihan di sana dengan juga memakai earphone. Sorry Rio, I need to calm down my mind. Tak sanggup rasanya harus berbicara dengan Rio saat seluruh kepalaku penuh berisi Ryuji.
Aku berlari dengan penuh semangat. Menyemangati diri sendiri dengan berpikir semakin cepat aku berlari semakin cepat pula aku bisa melupakan Ryuji.
Or I won't live to see another day
I swear it's true
Because a girl like you is impossible to find.
You're impossible to findSebuah lirik lagu tiba-tiba tertangkap telingaku. Fall for you, secondhand serenade. Lagu lama yang sering Ryuji nyanyikan dulu. Kenapa aku masih menyimpan lagu ini.
Aku seperti tak berdaya mendengar lagu ini. Aku sadar aku hanya tinggal melepas earphone, tapi tak ada yang mampu aku lakukan. Seiring dengan Fall for you yang terus berputar semua kenangan dengan Ryuji seakan terjadi kembali di depanku.
This is not what I intended
I always swore to you I'd never fall apart
You always thought that I was stronger
I may have failed
But I have loved you from the startRyuji yang selalu menggengam tanganku. Tentang berapa derajat aku harus mendongakan kepala saat berbicara padanya. Tentang caranya menatap mataku. Tentang lengan kirinya yang selalu pas menggenggam bahuku. Ryuji seperti tengah berada tepat di depan mataku, and I'm starting to cry.
Aku teringat suara tawanya saat mengejeku yang tak kuat mengimbanginya berlari di treadmill. Teringat bagaimana dia menepuk-nepukan handuk ke wajahku mencoba membantuku menyeka keringat. Teringat dia yang sering mengacak-acak ikatan rambutku. Teringat cara dia menyelipkan rambut depanku ke belakang telinga.
So breathe in so deep
Breathe me in
I'll be yours to keep
And hold onto your wordsLagu hanyalah lagu. Kenyataanya kamu pergi gitu aja Ryuji. Leave me like I'm nothing. Bertahun-tahun bersama. Berjuang bersama meyakinkan keluargaku untuk merestui hubungan kita. Saat akhirnya ketiga kakaku luluh, kamu malah pergi. Sebegitu nggak berharganyakah aku buat kamu?
You just said that you would never be like what I expected. But what I expected from you. It was just certainty. Suatu hal yang semua gadis harapkan dari pria yang dicintainya. Apa berlebihan mengaharapkan kepastian dari kekasih sendiri? Bertahun-tahun berlalu rasanya masih sesakit ini. Apa aku seburuk itu sampai kamu bahkan menyerah?
Aku tak tahan lagi. Aku mematikan treadmill dan melepas earphone. Kenapa masih secengeng ini sih kamu Yuk? Pipiku basah karena air mata.
"Mas hati-hati dong, lagian ngapain sih barbel seberat ini pake dilempar-lempar segala."
Aku mendengar seorang pria marah-marah ke salah satu pengunjung gym. Beberapa orang berkerumun. Setelah aku dekati ternyata mereka mengerumini Rio yang terduduk sambil memegangi bahu kananya.
"Saya nggak mau tahu ya mas, mas harus ganti atas semua kerusakan ini. Ini untung barbelnya nggak kena ke orangnya langsung."
Pria tadi masih terus marah-marah. Mungkin pria itu pemilik tempat gym ini.
"Rio kamu kenapa?"
"Jatuh Yuk. Itu barbel tiba-tiba aja jatuh nggak tahu dari mana. Stand sepedanya patah, sepedanya jatuh aku ikutan jatuh juga deh." Rio menjawabku dengan enteng.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Ini nyeri banget rasanya di bahu kanan."
***
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Yuki, wajahya terlihat khawatir tapi nada suaranya masih sangat tenang.
"Ini nyeri banget rasanya di bahu kanan," jawabku jujur. Mungkin ototku tertarik saat terjatuh tadi.
Yuki menarik kerah kaosku. Aku melihatnya mengernyitkan dahi. Dia kemudian meraba pundak kananku.
"Ikut aku ke rumah sakit ya?" ajak Yuki tiba-tiba.
"Rumah sakit?"
"Clavicula kamu patah."
"Patah? Clavicula?"
"Ini," jawab Yuki sambil menyentuh sebuah tulang di pundak kananku, kemudian menekanya.
"Duh duh sakit Yuk."
"Nah makanya kita ke rumah sakit ya, sampai sana langsung rontgen biar jelas kondisinya."
Yuki mengangkat lengan kiriku dan membantuku berdiri.
"Mas Rio maaf sekali atas kejadian ini. Mas Rio nggak apa-apa? Butuh sesuatu mas?" tanya pria yang marah-marah tadi.
"Saya butuh kain yang lumayan panjang," jawab Yuki tegas.
"Oh baik-baik saya carikan segera, silahkan bisa tunggu di ruangan saya dulu," ucap Mas Danang mempersilahkan.
Mas Danang adalah manager tempat gym ini. Kami kenal akrab, karena aku sering latihan di sini. Dia pria yang sangat supel. Semua hal bisa ditertawakan bagi Mas Danang. Baru kali ini aku melihatnya bisa marah-marah dan panik seperti tadi.
"Tenang mas dokter pribadiku di sini kok," ucapku menenangkan Mas Danang.
Aku menatap Yuki, dan mata kami bertemu karena dia ternyata juga sedang menatapku. Yuki menatapku dengan pandangan sulit diartikan seperti biasanya, tapi yang jelas tidak ada gurat tidak berkenan di wajahnya. Syukurlah dia tidak marah aku menyebutnya dokter pribadiku.
Aku menyadari mata Yuki sedikit sembab. Apa dia menangis karena melihatku tadi? Sejauh itu kah kamu khawatir sama aku Yuk? Nggak mungkin deh kayaknya.
"Ok doctor, I've broken my bone for you. Could you please be happy and give me your smile," ucapku mencoba mengembalikan senyum Yuki terlepas dari entah apa yang membuatnya menangis tadi.
Yuki memberikan senyumnya. As simple as that, aku sudah bahagia sekali. Rasanya aku bersedia patah tulang berulangkali asal bisa bersama dokter manis ini.
Note:
Agak sedih sih ya akhir-akhir ini Pak Darto sm Mas Danang bilang Yuki nge push away Rio mulu di the comment. Yang terbaiklah buat mereka berdua.
Happy reading, ditunggu vote dan komenya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Bigger Hands
Fiksi PenggemarYou do not need a smaller crown You need a man with bigger hands Aku meyakininya sejak dia meninggalkanku. Aku tak akan pernah lagi menurunkan kapasitasku sebagai perempuan. He who will stay with me have to has more in everything than me. Karakter...