Yuki membawaku ke rumahsakit. Sampai di IGD semua perawat memperhatikanku. Yuki berlalu ke dalam ruangan, seorang perawat laki-laki menghampiriku.
"Saudaranya dr. Yuki mas?" tanya perawat tadi.
"Temen mas," jawabku.
"Saya Surya."
"Rio."
"Dokter Yuki minta mas Rio dirontgen dulu untuk tau kondisi claviculanya. Kaosnya bisa dilepas dulu?"
Aku mengangkat lengan bermaksud melepas kaos tapi bahu kananku nyeri sekali. Mas Surya_ perawat tadi_ akhirnya membantuku melepas kaos, dan memakaikan kimono biru khas rumahsakit.
"Mas Rio atlet ya?"
Mas Surya sepertinya heran melihat otot perutku.
"Ha bukan mas, saya karyawan biasa."
"Istri saya pengen banget saya punya perut macam gitu mas, mati-matian ya ternayata usahanya," cerita Mas Surya sambil tertawa mengelus perutnya.
"Latihannya yang rutin pasti bisa kok mas," jawabku meyakinkanya.
"Udah akrab aja nih," Yuki datang menghampiri kami.
"Ini dok perutnya Mas Rio. Kotak-kotak lho dok, udah lihat belum?" Mas Surya menggoda Yuki.
Yuki hanya mengernyitkan dahi. Hei Yuki apa perut kotak-kotak sama sekali tak menarik untukmu?
Yuki sudah mengganti bajunya dengan rok selutut dan kemeja warna merah, bukan lagi celana dan kaos olahraga milik Ersya. Yuki terlihat cantik dengan warna merah, warna kesukaanku. Apa setiap dokter selalu punya baju cadangan, sehingga mereka bisa beganti baju kapan saja? Dulu waktu dinner yang gagal itu Yuki juga dadakan mengganti bajunya.
"Udah hubungi keluarga kamu Yo?" tanya Yuki.
Aku menggelengkan kepala.
"Loh gimana si? Rio, kalau clavicula kamu beneran patah harus ada persetujuan keluarga dulu baru aku bisa tindakan."
"Kan ada kamu."
"Uhuuuuk ehm ehm," Mas Surya berdehem keras menginterupasi kami. Aku bahkan lupa masih ada Mas Surya di antara aku dan Yuki saat ini.
"Radiologi uda siap, saya antar Mas Rionya sekarang ya dok? Permisi dokter Yuki" lanjut Mas Surya sambil cekikikan menahan tawa. Ia lalu mendorong bedku berlalu menjauhi Yuki.
***
"Patah dok?" terang Surya sambil menyerahkan amplop berisi foto rontgen bahu Rio.
Aku memasang foto pada xray viewer.
"Kok bisa separah ini ya?" gumamku karena clavicula Rio patah menjadi dua disertai beberapa serpihan tulang kecil.
"Gara-gara keseringan disenderin dokter Yuki kali tuh."
Mataku membelalak, kupukul lengan surya dengan amplop hasil rontgen.
"Sembarangan. Dimana dia sekarang?" tanyaku menanyakan keberadaan Rio.
"As your order kencana 702 dok."
Surya memang perawat paling usil di rumahsakit ini, meskipun begitu dia salah satu yang paling cekatan. Sepanjang tahun hanya berpindah tugas di tiga ruangan IGD, OK, dan ICU.
***
Aku memasuki ruangan Rio ditemani Virza perawat jaga dari ruang Kencana. Ada dua orang perempuan menemani Rio.
"Mah ini dr. Yuki yang nolongin Rio tadi."
"Yuki tante," jawabku sambil menjabat tangan perempuan paaruh baya yang ternyata adalah mama Rio.
Perempuan satu lagi yang nampak masih belia tersenyum padaku sambil mengulurkan tangan "Ersya."
"Yuki."
"Terimakasih banyak dokter, sudah nolong kakak saya," ucap Ersya
"Sama-sama, that is doctor do" jawabku sambil tersenyum.
Ersya is a really sweet girl. Sopan, ramah cantik pula. Kakaknya aja ganteng begitu, panteslah kalau adiknya cantik. Aku menerangkan kondisi Rio. Mamanya mengerti dan langsung menandatangani surat persetujuan operasi.
"Ok Rio see you in a bit, persiapan puasa dulu 8 jam ya menghindari muntah nanti pasca anastesi. Saya permisi dulu semuanya, mari."
***
Kok deg-degan begini ya ketemu mama sama adiknya Rio. Untung nggak sampai salah tingkah tadi.
"Mas Virza minta tolong dihubungin ke dr. Marcel buat anastesinya ya."
"Baik dok"
***
Rio sudah tak sadarkan diri di bawah lampu operasi.
"Ini cowok yang ngajak kamu dinner dulu itu kan?" tanya Marcel
"Hmm iya, masih inget aja kamu cel."
"Kamu apain dia sampai patah tulang begini pundaknya?"
"Keseringan jadi sandaran kepala gue."
"Waow."
"Apaan sih uda minggir sana pasien gue nih!" jawabku cepat-cepat mengusir Marcel karena aku tahu dia tak akan berhenti menggodaku sampai aku marah.
"Iya iya galak banget sih. Guys gebetan dr. Yuki ini pasienya," Marcel membuat pengumuman untuk dua perawat yang membantuku dalam operasi ini. Kuacungkan gunting bedah ke arah wajah Marcel, baru kemudian dia beranjak pergi.
"Oke lupain dr. Marcel. Kita mulai sekarang. Scalpel 15 sus."
Bahu dan lengan kanan Rio sudah dibiarkan terbuka oleh para perawat. Aku menyentuhnya dan merasakan kembali otot lengan yang tadi pagi sukses membuatku mengingat Ryuji. Nggak untuk kali ini. I will not let you come to my mind again Ryuji. That's enough. I am going to move and forget you.
Note:
Honestly I'm almost stuck to write this story. Yah gimana Rio sama Yuki semakin nggak ada kabar apa-apa. Ini aja giliran yang satu ke Solo, yang satu ke Vegas. Hufffft. Ya walaupun cerita ini fiktif belaka, tapi sumber inspirasinya kan tokoh nyata jadi ya begitulah teman-teman.
Down banget belakangan ini. Bahkan sempat kepikiran mau ganti cerita ini dari Rio-Yuki jadi Ofar-Yuki sangking putus asanya.
Sorry for made you waiting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bigger Hands
FanfictionYou do not need a smaller crown You need a man with bigger hands Aku meyakininya sejak dia meninggalkanku. Aku tak akan pernah lagi menurunkan kapasitasku sebagai perempuan. He who will stay with me have to has more in everything than me. Karakter...