Dua

916 110 11
                                    

"Kamu disini."

Dan Tawan tersenyum mendengarnya.

Setiap orang memiliki porsinya untuk dikenang. Sama seperti kita—kau dan aku.


Tay membawa kopernya dan dirinya masuk kedalam apartment itu, membiarkan sang pemilik berjalan dibelakang setelah menutup pintu. Pemuda itu mengamati sekitar, tidak banyak yang berubah. Meski dia melihat ada beberapa barang tambahan yang masih terasa baru, tapi dia tetap mengenali barang-barang yang masih tersimpan rapi ditempat yang sama.

"Merasa nostalgia?"

Tawan tersenyum sembari meletakkan kopernya tidak jauh dari sofa putih yang ada diruang tamu. Matanya menatap pada sebuah bingkai foto besar tergantung diatasnya. Masih sama.

"Hmm, tidak ada yang berubah. Bahkan bingkai itu masih tetap disana."

Tatapannya melembut. Masih pada objek yang sama.

"Yah—




Kecuali foto yang tidak ada lagi didalamnya."

Pemuda itu menghela nafas pelan mendengarnya. Itu benar. Tidak ada yang berubah disini— tidak sama sekali, kecuali foto itu. Tawan kembali tersenyum.

"Sudah lama bukan?" Kini Tawan mengalihkan atensinya.

"Apa?"

"Sejak terakhir kali kita disini."

Tay mengatakannya dengan tenang. Kemudian kembali menyeret kopernya kearah kamar tidur yang terletak disebelah ruang tamu. Membuka pintunya, tapi lalu berhenti tepat didepannya ketika mendengar namanya dipanggil.

"Tay."

"Hey, ini masih menjadi kamarku bukan,






Alice."

Gadis itu tertawa. Kakinya membawanya mendekat kemudian mendorong pelan bahu Tawan untuk memasuki kamarnya. Alice meraih kopernya untuk diletakkan didepan sebuah lemari kaca besar disisi kiri tempat tidur.

"Ini masih kamarmu. Tapi kita akan membongkar barangmu nanti. Setelah kita makan. Kamu belum makan siang bukan?"

Tawan mengangguk. Pemuda itu mengikuti Alice yang beranjak keluar. Mereka melewati ruang tengah kemudian sampai pada ruang makan yang jadi satu dengan dapur kecil. Tawan mendekati lemari penyimpanan lalu membukanya. Dan pemuda tampan itu tertegun melihat pemandangan didepannya.


"Bahkan, piring favorite ku masih tersimpan dengan baik."


Suaranya bergetar. Alice menyadari itu. Dia kemudian membuka lemari es disebelahnya untuk mengeluarkan makanan yang tadi dibelinya. Dia menyiapkan wadah untuk menghangatkan makanannya, menyalakan kompor, kemudian berbalik menatap pemuda yang masih berdiri termangu.


"Sudah lima tahun."
Ucapnya pelan. Tapi Tawan mendengarnya. Pemuda itu mengangguk tanpa menjawab lebih.








Aku mengingatnya. Setiap waktu yang kuhabiskan bersamamu. Setiap tawa yang kubagi denganmu. Dan juga seberapa besar rasa benci itu.



"Hin !"

Arm berlari ketika melihat pemuda yang dipanggilnya mulai memasuki gedung perusahaan mereka. Dilihatnya pemuda itu menatap kearahnya. Rupanya dia tidak sendiri, P' Kwang terlihat beberapa langkah disampingnya. Arm tertawa ketika P' Kwang tampak cemberut karena harus menunggunya.


H.E.RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang