Jam istirahat di kantin sekolah, Savan duduk di meja sudut dekat jendela bersama Army. Savan yang sudah biasa menjadi pusat perhatian bersikap santai, tetapi tidak dengan Army. Berulang kali ia menyikut lengan temannya itu dan memberi isyarat agar Savan memperhatikan sekitar mereka.
"Kenapa?" tanya Savan seraya tersenyum.
"Lo kayak artis," sahut Army sambil menjulurkan kepalanya ke sana kemari seolah sedang mencari sesuatu.
"Di Charlemagne itu hal biasa, tapi di sini, gue agak merinding juga." Savan menanggapi kemudian perhatiannya kembali beralih ke ponsel.
"Ya jelas, dong! Siapa suruh lo berlagak parlente di sekolah rakyat jelata?" cemooh Army.
"Maksud lo?" tanya Savab tak mengerti.
"Lo tahu, sepanjang sejarah di sekolah ini tuh gak pernah ada muridnya yang pergi ke sekolah bawa mobil. Dan lo baru aja mecahin rekor sejarah itu. Jadi, lo ngerti kan maksud gue?" Army menjelaskan panjang lebar lalu meneguk minuman ringan yang dipegangnya saja sejak tadi.
Savan langsung teringat perkataan Selia bersama temannya tadi pagi. Selia berkata kepada temannya kalau dirinya itu pamer. Jangan-jangan dirinya memang terlihat seperti itu, pikirnya.
"Woy, Selia, Hana! Sini!" panggil Army seraya melambai-lambaikan tangannya ke arah Selia dan Hana yang sedang celingukan mencari tempat duduk.
Hana yang pertama kali menoleh dan tersenyum menatap seniornya di klub Taekwondo itu. Selia juga tadinya ingin melempar senyum, tetapi wajahnya kembali berubah datar saat melihat siapa yang sedang bersama kakaknya.
"Cari tempat lain aja," cegah Selia seraya menarik tangan Hana yang sudah akan berjalan ke arah meja Army dan Savan.
"Kamu mau aku jadi bulan-bulanan kakakmu di klub Taekwondo karena gak mengindahkan panggilannya?" desis Hana tak terima. Selia menatap kesal temannya itu. "Kalau kamu gak mau, ya udah. Makan di taman atau di kelas aja sana."
"Ck," decak Selia yang akhirnya mengikuti Hana dengan wajah bertekuk-tekuk.
Saat tiba di meja yang dituju, Selia bisa merasakan kalau sepasang mata dengan tatapan tajam itu sedang menatapnya. Membuatnya merasa risi dan ingin cepat-cepat menghilang dari sana.
"Kita gak ganggu Kakak-kakak, kan?" tanya Hana seraya tersenyum dan duduk di sebelah Army. Menyisakan satu kursi kosong yang ada di sebelah Savan.
"Ayo duduk," perintah Army kepada Selia yang hanya berdiri.
"Aku gak nyaman," jawabnya sambil menggaruk lehernya.
Army melirik ke arah Savan yang balas menatapnya kemudian kembali menatap Selia. Sepertinya ia mulai mengerti kenapa adiknya bersikap seperti itu.
"Katanya kamu benci sama murid Charlemagne yang sombong, tapi sikap kamu gak ubahnya kayak mereka kalau kayak gini," cemooh Army.
"Army!" Selia mendelik ke arah kakaknya itu sambil memanggil namanya tanpa suara dengan sangat geram. Ia bahkan memanggil sang kakak tanpa embel-embel.
Army langsung memberi isyarat agar Selia duduk dengan gerakan dagunya plus delikan matanya yang tak kalah sengit dari gadis itu. Meskipun Selia lebih sering bersikap seenaknya kepada kakak semata wayangnya itu, tetapi kadang-kadang untuk alasan tertentu ia sangat menghormati sang kakak.
Akhirnya Selia mengalah dan duduk di sebelah Savan. Sang kakak tersenyum puas setelahnya.
"O,ya, Kak Savan beneran pindahan dari Charlemagne?" tanya Hana berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku itu.
"Iya," jawab Savan singkat. Tak lupa tersenyum.
"Jadi, beneran? Wah, susah dipercaya. Kakak pindah dari sekolah elit itu ke sekolah biasa. Pasti Kakak punya alasan kuat buat pindah." Mata Hana berbinar-binar menatap Savan. Tak jauh berbeda dengan murid perempuan lain yang ada di sekitar mereka saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Soccer Love
Teen FictionSavan Adinata jatuh cinta dengan Akselia Thihani yang membencinya karena ia murid Charlemagne. Untuk mendapatkan hati gadis itu, Savan rela pindah ke SMA Panca Bakti tempat Selia bersekolah dan membantunya membentuk tim sepak bola. Semua berjalan l...